tag:blogger.com,1999:blog-57992277747972529352024-03-14T04:20:19.028-07:00Mimi Astri Rahmayanti Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00201607017786352264noreply@blogger.comBlogger9125tag:blogger.com,1999:blog-5799227774797252935.post-60174994807756944782012-11-25T03:59:00.003-08:002012-11-25T03:59:48.907-08:00keterbacaan<div style="text-align: center;">
KETERBAACAAN<br />
Oleh B.P. Sitepu</div>
A. PENDAHULUAN<br />
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penyampaian informasi atau
pesan (message) melalui media tulis atau cetak ialah sejauh mana pesan
itu dapat ditangkap, dimengerti, dan dipahami oleh pembaca. Hal itu
perlu karena pesan yang penting dan bermanfaat akan menjadi sia-sia
kalau si penerima pesan atau pembaca tidak dapat menangkap pesan itu
dengan baik. Kemampuan membaca dan kemampuan memahami makna bacaan
dianggap merupakan persyaratan awal yang perlu dimiliki seseorang untuk
dapat menangkap dan memahami pesan yang disampaikan melalui media
tulis/cetak. Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana itu. Apabila
dilihat kegiatan menulis dan membaca sebagai suatu proses komunikasi,
maka tujuan komunikasi sebenarnya tidak hanya sebatas pesan itu sampai
dan dipahami oleh pembaca tetapi diharapkan dapat memberikan pengaruh
sehingga terjadi perubahan prilaku pembaca (dari tidak tahu menjadi
tahu, dari tidak sadar menjadi sadar, atau dari tidak mampu menjadi
mampu berbuat). Lebih jauh, Rudolf Flesch (1962) berpendapat bahwa
keberhasilan penyampaian pesan ditandai dengan pembaca membacanya lebih
cepat, lebih menikmatinya, lebih mengerti, dan mengingatnya lebih lama.
Pendapat tersebut selaras dengan prinsip belajar dengan menggunakan
bantuan media.<br />
Dalam proses pembelajaran yang menggunakan bahan belajar cetak
sebagai sumber belajar utama, di samping pembelajar, keterbacaan
(readability) menjadi permasalahan tersendiri. Berdasarkan berbagai
penelitian diketahui bahwa pebelajar mendapat dan memahami bahan belajar
lebih banyak dari buku dari pada sumber belajar lainnya. Kesimpulan ini
cukup beralasan mengingat informasi dalam buku dapat dibaca berulang
kali, direnungkan, dibedah, dan didiskusikan. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan fungsi buku sebagai sumber informasi, pesan yang
disampaikan melalui buku perlu dirancang, disusun dan disajikan dalam
bentuk yang tidak saja menarik secara visual tetapi juga mudah
dimengerti. Apalagi dalam penyusunan bahan belajar mandiri, seperti
modul, keterbacaan bahan belajar menjadi sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan pembelajaran oleh karena pebelajar diharapkan dapat
memahami bahan belajar tanpa bantuan atau sesedikit mungkin menggunakan
bantuan orang lain.<br />
Minat dan kegemaran membaca diperlukan dalam membangun masyarakat
belajar. Salah satu hambatan dalam menumbuhkembangkan minat dan
kegemaran membaca ialah keterbacaan bahan bacaan. Kesulitan memahami
bahan bacaan memperlemah dan kadang-kadang mematikan motivasi membaca.
Bahan bacaan yang tersedia sulit dipahami dilihat dari bahasa yang
dipergunakan dan konsep (isi) yang disampaikan terlalu sukar untuk
dipahami sehingga tidak menarik untuk dipelajari. Dengan perkataan lain
bahan bacaan tersebut mengandung keterbacaan yang rendah. Akan tetapi
tidak jarang terjadi dalam hal yang demikian, kemampuan membaca
pebelajarlah dijadikan alasan rendahnya pemahaman. Atau ada kalanya
kurangnya pemahaman itu dianggap karena pebelajar kurang atau tidak
konsentrasi ketika membaca. Pada hal apabila dikaji lebih lanjut,
kelemahan itu terdapat pada keterbacaan dalam buku itu sendiri.<br />
Sebagai ilustrasi, dalam mata kuliah Teori Pengambilan Keputusan di
Program Pasca Sarjana UNJ buku Administrative Behaviour yang naskah
aslinya ditulis H.A. Simon tahun 1945 dijadikan sebagai salah satu buku
rujukan utama. Buku itu telah diterbitkan sampai edisi yang keempat
(1976) dengan beberapa penambahan halaman. Halaman-halaman tambahan itu
ditulis dalam tahun enampuluhan dan awal tujuh puluhan. Buku itu
dipergunakan sebagai salah satu buku wajib untuk mata kuliah itu sejak
tahun 1996 di program S3. Ternyata sampai sekarang ini mahasiswa selalu
mengeluh karena sukarnya memahami isi buku itu. Pada hal kemampuan
membaca mahasiswa Pasca Sarjana sudah barang tentu tidak diragukan lagi,
sehingga persoalannya besar kemungkinaan bukan terletak pada kemampuan
membaca tetapi pada bahan bacaan itu sendiri. Buku itu menggunakan
banyak istilah teknis dalam berbagai disiplin ilmu seperti psikologi,
sosiologi, ekonomi, politik, filsafat, dan administrasi. Banyak
penjelasan dan contoh yang diberikan berlaku di Amerika dan asing bagi
orang Indonesia. Strukur bahasa yang dipakai cukup rumit. Konsep-konsep
disajikan dalam bab-bab yang saling berkaitan sehingga sangat sulit
memahami salah satu bab tanpa memahami isi bab sebelumnya.<br />
Contoh yang diberikan tadi adalah buku yang diterbitkan dalam bahasa
Inggris dan dipelajari oleh mahasiswa di Indonesia. Kesulitan memahami
isi buku dalam bahasa aslinya mendorong mahasiswa membaca terjemahannya
dalam bahasa Indonesia. Semula dengan mempelajari buku terbitan dalam
bahasa Indonesia dikira aakan mengatasi kesulitan memahami konsep-konsep
dalam buku aslinya (versi bahasa Inggris). Tenyata persoalan kesulitan
memahami isi buku itu tidak sepenuhnya terpecahkan dengan membaca versi
terbitan dalam bahasa Indonesia. Bahkan bagian-bagian tertentu lebih
membingungkan karena terjemahannya tidak sesuai dengan apa yang dimaksud
dalam bahasa aslinya. Nampaknya inti permasalahannya sebenarnya tidak
hanya terletak pada bahasa yang digunakan dalam terbitan aslinya tetapi
juga isi buku itu mengandung konsep-konsep yang sangat teoritis dan
folosofis. Contoh ini menunjukkan bahwa keterbacaan dalam buku itu
mencakup keterbacaan dari segi bahasa dan keterbacaan dari segi konsep
atau isi buku itu.<br />
Hal yang serupa dengan contoh yang diuraikan tadi dapat terjadi dengan
buku-buku pelajaran untuk pendidikan dasar dan menengah. Masalah
belajar timbul diakibatkan tingkat keterbacaan yang rendah (karena
faktor bahasa dan atau konsep/isi) dalam buku pelajaran sehingga siswa
mengalami kesukaran menangkap dan memahami isi bahan belajar itu.<br />
Keterbacaan seharusnya telah diperhatikan oleh penulis ketika menyusun
bahan belajar serta oleh editor ketika menyunting naskah itu sebelum
diterbitkaan. Guru pun seharusnya telah meneliti keterbacaan bahan
belajar sebelum dipergunakan oleh siswa. Akan tetapi tidak jarang
masalah keterbacaan tersebut kurang mendapat perhatian atau terabaikan.
Kalaupun diperhatikan, mungkin pengukuran keterbacaan dilakukan kurang
cermat atau tidak tepat. Sebelum melanjutkan lebih jauh, ada baiknya
diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan keterbacaan dalam
tulisan ini.<br />
B. KETERBACAAN<br />
Secara semantik, Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan ari
keterbacaan sebagai “ perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah
dimengerti, dipahami, dan mudah diingat” (hlm. 72). Dari berbagai
definisi yang memberikan hakikat keterbacaan (readability) dapat
disimpulkan bahwa keterbacaan itu adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kemudahan atau kesulitan memahami suatu bacaan.
Keterbacaan berkaitan dengan keadaan tulisan atau cetakan yang jelas,
mudah, menarik, dan menyenangkan untuk dibaca sehingga pesan yang
disampaikan penulis benar-benar sampai secara tepat kepada pembaca.
Dengan demikian, tingkat keterbacaan suatu bahan bacaan diukur dari
pihak pembaca. Bacaan yang menurut penulisnya sudah memiliki tingkat
keterbacaan yang tinggi berdasarkan indikator tadi, belum tentu demikian
berdasarkan pembacanya. Bahkan dapat terjadi bahwa menurut pembaca,
bacaan tersebut tidak menarik, sulit dipahami sehingga membosankan.
Tingkat keterbacaan dipengaruhi oleh kosa kata, struktur isi dan
kalimat, isi, tipografi, dan ilustrasi yang dipergunakan. Masing-masing
komponen ini diukur dan dinilai berdasarkan kriteria atau pandangan
pembaca.<br />
Di samping pesan yang harus benar, penulis dan editor naskah bahan
belajar cetak diharapkaan menyadari benar pentingnya unsur keterbacaan
tersebut dan berusaha agar bahan belajar itu disajikan dengan
menggunakan bahasa yang dapat dimengerti. Pesan itu akan dibaca dan
dipahami apabila mudah dibaca, singkat, serta menjawab semua pertanyaan
penting yang dicari pembaca. Untuk itu Rothwell dan Kazanaz (1992)
menyarankan kepada penulis bahan belajar agar membuat bahan belajar itu
mudah dibaca dilihat dari kemampuan pembaca.<br />
Keterbacaan sering diartikan kemudahan untuk memahami bahan bacaan. Oleh
karena itu sebagai indikator yang sering dipakai ialah panjangya
kalimat atau jumlah kata dalam kalimat, jumlah kata-kata sulit/asing,
panjangnya kata atau jumlah kata bersuku jamak (multisyllabic), struktur
kalimat seperti kalimat tunggal dan majemuk, serta kalimat aktif dan
pasif. Kadang-kadang tingkat keterbacaan suatu bahan bacaan didasarkan
atas pengalaman. Guru yang berpengalaman membelajarkan siswa di kelas
tiga SD misalnya, dapat mengetahui secara tepat tingkat keterbacaan
suatu bacaan bagi siswa kelas tiga SD, walaupun pendapatnya itu sudah
barang tentu tidak dapat diberlakukan secara umum.<br />
C. FORMULA KETERBACAAN<br />
Pentingnya keterbacaan dalam bahan belajar cetak disadari
sungguh-sungguh khususnya oleh Departemen Pendidikan Nasional sejak
diberlakukannya penilaian buku pelajaran untuk dipakai di pendidikan
dasar dan menengah. Buku yang dinilai itu digolongkan ke buku teks
pelengkap, buku bacaan, atau buku sumber. Jadi buku pelajaran pokok/teks
utama belum termasuk di dalamnya. Di samping kebenaran isi, metodologi
pembelajaran, grafika, dan keamanan , aspek bahasa dijadikan sebagai
kriteria yang ikut menentukan dapat tidaknya buku itu dipakai sebagai
sumber belajar. Dalam aspek bahasa ini terlihat adanya unsur keterbacaan
yang dirumuskan dalam bentuk kosa kata, struktur kalimat, ejaan dan
kaidah-kaidah bahasa lainnya.<br />
Dalam penyusunan dan pengembangan naskah buku pelajaran pokok/teks utama
yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, keterbacaan naskah
buku diuji melalui proses uju coba. Setelah mempelajari naskah bahan
belajar itu, siswa diberikan kuesioner untuk mengetahui apakah siswa
menemukan kesulitan dalam memahami bahan belajar itu dilihat dari
kata-kata, kalimat, dan paragraf yang dipakai. Namun bahan bacaan itu
tidak diujikan secara langsung kepada siswa sehingga data yang diperoleh
bukan data objektif hasil pengukuran tetapi data subjektif berdasarkan
pendapat siswa. Untuk melengkapi data dari siswa itu, diminta pendapat
guru yang mengajarkan bidang studi di kelas yang bersangkutan. Data dari
guru ini pun tergolong data subjektif sungguhpun dapat digolongkan
sebagai penilaian dari ahli (expert judgement).<br />
Hasil uji keterbacaan seperti yang dilakukan itu memberikan masukan
kepada penulis dan editor dalam menyempurnakan naskah buku itu. Akan
tetapi masukan itu dianggap masih memiliki kelemahan. Pertama, data yang
diperoleh bukan data primer hasil pengukuran yang objektif. Kedua,
keanekaragaman kemampuan membaca serta latar belakang budaya siswa,
sampel yang dipergunakan dalam uji keterbacaan itu tidak dapat mewakili
semua siswa di seluruh Indonesia. Akibatnya, setelah naskah buku
diperbaiki dan diterbitkan serta disalurkan ke sekolah masih terdapat
saja alasan kurang atau tidak dipakainya buku yang disediakan Pemerintah
karena bahasanya berbelit-belit, kata-kata sukar, dan lain sebagainya.
Alasan itu menunjukkan bahwa bacaan dalam buku itu tidak mudah
dimengerti atau dengan perkataan lain tingkat keterbacaannya belum
sesuai dengan kemampuan membaca siswa yang menggunakan bukku itu.<br />
Dalam penilaian buku terbitan swasta untuk dipakai sebagai buku
pelajaran pokok/utama di SLTP, Pusat Perbukuan menetapkan kriteria
bahasa terpisah dari kriteria keterbacaan secara khusus. Kriteria bahasa
menilai penggunaan bahasa dalam penyampaian materi dengan indikator
kaidah bahasa, kesesuaian dengan tingkat pendidikan, dan ketepatan
istilah. Sedangkan kriteria keterbacaan menilai tingkat kemudahan
keterbacaan naskah, yang terdiri atas, struktur kalimat, panjang
kalimat, dan kelugasan. (Kadarsah Suryadi dkk, 2000). Sungguhpun
indikator ini diberikan penjelasan, dalam penggunaannya belum begitu
operasional sehingga unsur subjektivitas belum dapat sepenuhnya
dihindarkan. Di lain pihak indikator yang dipergunakan untuk menilai
aspek bahasa itu pada hakikatnya juga merupakan indikator untuk menilai
keterbacaan<br />
Di samping melalui perkiraan yang bersifat subjektif (subjective
judgement) dan uji coba kepada sasaran tertentu, keterbacaan dapat
diukur dengan menggunakan sejumlah formula (rumus) keterbacaan seperti,
The Dale-Chall Formula, The Fry Readibility Graph, Reading Ease Formula,
Flesch Reading Ease/Plesch-Kincaid Grade Level Tools, SMOG Test, Cloze
Test dan Fog Index. Semua formula tersebut dipergunakan sebagai alat
untuk mengukur dan mengetahui tingkat kesulitan memahami suatu bahan
bacaan. Masing-masing formula memiliki keunggulan dan kelemahan. Berikut
ini akan diberikan gambaran tentang SMOG Grading, Cloze Test dan Fog
Index.<br />
1. Flesch Reading Ease/Plesch-Kincaid Grade Level Tools<br />
Pengukuran keterbacaan dengan menggunakan alat ini dapat dilakukan
dengan menggunakan Microsoft Word (MS) dalam komputer. Naskah wacana
dimasukkan dalam MS. Sesudah naskah dibuka, pilih dan klik tombol Tool
pada menu layar Microsoft Word. Sesudah menu Tool dibuka, pilih dan klik
tombol Grammar. Printah ini akan menyuruh MS membaca dan memeriksa
ejaan dan tata bahasa dalam naskah wacana itu. Apabila ditemukan
kesalahan atau hal-hal yang kurang lazim, MS akan menawarkan beberapa
alternatif pilihan. Sesudah MS melakukan pemeriksaan ejaan dan tata
kalimat, pada layar komputer akan diperlihatkan statistik dalam tiga
kategori: Counts, Averages, dan Readability. Cari pada Readability untuk
data keterbacaan dengan istilah Flesch Reading Ease (kemudahan membaca)
dan Flesch-Kincaid Grade Level (tingkat pembaca). Angka Flesch Reading
Ease seharusnya 60 atau lebih agar sesuai untuk pembaca tingkat 8
(kelas 2 SLTP). Atau untuk kesesuaian tingkat pembaca ini dapat juga
dilihat pada Flesch-Kincaid Grade Level. Masalah dalam penggunaan cara
ini ialah bahwa MS belum membuat program untuk semua bahasa, termasuk
bahasa Indonesia. Dengan demikian cara ini dapat dipakai untuk wacana
dengan bahasa yang sudah ada dalam kamus MS.<br />
2. SMOG Test<br />
Test SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) adalah cara lain yang
cepat, mudah, dan konsisten dalam menentukan tingkat keterbacaan. Akan
tetapi cara ini dianggap kurang sesuai untuk pembaca di bawah kelas
enam.<br />
Cara menggunakan test ini ialah sebagai berikut.<br />
a. Pilih tiga sample dari 10 kalimat yang berurutan dari bagian-bagian
yang berbeda dalam keseluruhan bahan wacana, sehingga jumlah secara
keseluruhan paling sedikit 100 kata.<br />
b. Hitung jumlah kata yang terdiri atas tiga suku kata atau lebih dalam 30 kalimat.<br />
c. Hitung hasil akar dari jumlah kata itu (b).<br />
d. Tambahkan 3 dan hasilnya adalah tingkat pembaca yang sesuai.<br />
Contoh:<br />
a. Jumlah kata yang terdiri atas 3 suku kata atau lebih adalah 64.<br />
b. Hasil akar dari 64 adalah 8<br />
c. 8 + 3 = 11. Jadi tingkat pembaca yang sesuai adalah kelas 2 SLTA.<br />
3. Cloze Test.<br />
Cloze test, yang diperkenalkan oleh Wilson L. Taylor pada tahun 1953,
adalah sejenis test dalam bentuk wacana dengan sejumlah kata yang
dikosongkan (rumpang) dan pengisi test diminta mengisi kata-kata yang
sesuai di tempat yang dikosongkan itu. (Hornby, 2000). Kata “cloze” itu
bermakna proses penutupan sementara (Oller, 1979). Disebut dengan
penutupan sementara karena sejumlah kata dalam wacana itu dihilangkan
atau ditutup secara sistematis untuk diisi dengan cara menerka
berdasarkan konteks isi wacana itu. Kebenaran isi jawaban akan dilihat
dari nakah asli wacana tersebut. Ada tiga cara menghilangkan kata
tersebut:<br />
a. Menghilangkan kata pada urutan tertentu secara konsisten, tanpa
membedakan jenis kata. Cara ini disebut the fixed-ratio method .
Misalnya, apabila dipilih kata yang dihilangkan itu adalah kata yang
ke-5, maka setiap kata yang kelima (apakah kata asing, nama diri,
akronim, atau singkatan) dihilangkan secara konsisten. Cara ini biasanya
dipakai apabila kata-kata dalam wacana itu dianggap sudah biasa bagi
pengisi test.<br />
b. Menghilangkan kata pada urutan tertentu dengan ketentuan sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan pembuat test. Misalnya, kata itu akan
dihilangkan apabila termasuk kata benda atau kata kerja, atau jenis
kata lain yang ditentukan oleh pembuat test. Cara ini disebut the
variables-fixed ratio. Cara ini biasanya dipakai apabila pembuat test
ingin mengetahui tingkat kesulitan kata-kata yang tergolong ke dalam
jenis-jenis kata yang ditetapkannya.<br />
c. Menghilangkan kata pada urutan tertentu secara sistematis tetapi apa
bila kata pada urutan tertentu itu adalah nama tempat, nama diri,
angka, tanggal, bulan, tahun atau istilah, maka kata itu dilampaui dan
dipilih kata berikutnya. Hal ini dilakukan karena kata-kata itu sulit
diterka atas dasar konteks kalimat. Cara ini disebut the modified
fixed-ratio method. Cara ini banyak dipakai untuk wacana yang
mengandung banyak istilah atau nama diri.<br />
Cloze test yang kemudian juga dipakai untuk menguji pemahaman membaca
(reading comprehension), pada awalnya dibuat untuk menguji keterbacaan .
(Heaton, 1975). Melalui test ini dapat diketahui kesulitan calon
pengguna dalam mengisi kata-kata yang dikosongkan (rumpang) secara
teratur dalam suatu uraian. Semakin dekat jarak kata yang dikosongkan,
mungkin semakin sulit mengerjakan soal itu dan sebaliknya. Kata yang
dibuang (dikosongkan) itu biasanya setiap kata yang kelima atau yang
ketujuh. Karena kata yang dipilih mungkin saja kata yang maknanya sama
(sinonim) dengan kata aslinya, maka sinonim kata itu dapat juga dianggap
benar. Akan tetapi apabila diharapkan kata yang diisikan adalah kata
yang persis sama dengan kata aslinya (kata yang dibuang) maka huruf
awal kata itu dituliskan dan huruf-huruf berikutnya dikosongkan.
Semakin sedikit kesalahan yang dibuat oleh pengisi test, berarti semakin
tinggi tingkat keterbacaan naskah tersebut dan sebaliknya, semakin
banyak kesalahan yang dibuat berarti semakin rendah tingkat
keterbacaannya.<br />
Prosedur yang ditempuh dalam menggunakan test ini ialah sebagai berikut:<br />
1. Pilihlah tiga buah uraian dalam naskah atau buku tersebut secara
acak, masing-masing pada bagian awal, tengah dan akhir. Uraian yang
dipilih hendaknya berdiri sendiri dan utuh dalam arti mempunyai satu
konsep atau ide. Panjang uraian kurang lebih 250 kata.<br />
2. Uraian yang dipilih hendaknya menarik bagi calon pengguna.<br />
3. Hindari uraian yang banyak menggunakan nama diri, seperti nama orang dan nama tempat.<br />
4. Salin kembali masing-masing uraian tersebut dengan ketentuan:<br />
a. Berikan judul untuk masing-masing uraian untuk memberikan gambaran umum tentang isi uraian,<br />
b. Tulis kembali kalimat pertama masing-masing uraian secara utuh untuk memberikan gambaran isi uraian lebih spesifik.<br />
c. Untuk kalimat-kalimat berikutnya, buang setiap kata ke lima atau kata
ketujuh secara teratur. Kata berulang dihitung dua kata. Kalau pembaca
diharapkan mengisi kata yang dikosongkan itu tepat seperti kata aslinya ,
tuliskan huruf awal kata itu dan diikuti dengan strip sebanyak sisa
huruf kata tersebut ( misalnya, kata yang dibuang ialah warung, maka
ditulis<br />
w_ _ _ _ _.)<br />
d. Tuliskan kalimat terakhir masing-masing uraian secara utuh untuk memberikan gambaran tentang isi uraian secara lebih lengkap.<br />
5. Pilih secara acak sesedikitnya sepuluh calon pengguna naskah tersebut untuk mengerjakan test itu.<br />
6. Berikan petunjuk yang jelas, termasuk tujuan diberikannya test bahwa
yang ingin diketahui bukanlah kemampuan membaca mereka tetapi tingkat
keterbacaan naskah itu sendiri. Kata yang dikosongkan diisi hanya dengan
satu kata yang dianggap paling sesuai dengan maksud kalimat dan uraian,<br />
Tingkat kesulitan keseluruhan naskah dapat dilihat dari jumlah kata yang
benar diisikan pada test itu. Hasil dengan menggunakan Cloze Test ini
dapat dikategorikan sebagai berikut.<br />
Jumlah kata yang benar Tingkat kesulitan<br />
a. > 50 % “Mudah” dalam arti pembaca mengerti isi bacaan.<br />
b. >35% – 50% “Agak Sukar” dalam arti pembaca memerlukan bantuan untuk mengerti isi bacaan<br />
c. <35 % – 35 % “Sangat Sukar”, dalam arti pembaca tidak dapat memahami isi bacaan.<br />
Hasil test tersebut dapat dilihat secara individual dan kelompok.
Dapat terjadi hasil masing-masing individu secara signifikan berbeda
karena latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Dengan demikian,
mungkin saja suatu bahan bacaan sangat sulit bagi orang tertentu tetapi
sangat mudah bagi orang lain dalam kelompok yang sama. Akan tetapi dalam
kaitannya dengan bahan bacaan yang dipergunakan dalam kelas maka hasil
rata-rata dalam kelompok biasanya yang digunakan.<br />
4. Fog Index<br />
Kalau Cloze Test dipergunakan dengan mengujikan bahan bacaan itu kepada
calon penggunanya, Fog Index dipergunakan oleh penulis, editor atau guru
sendiri, tanpa ketergantungan kepada orang lain. Fog Index dipergunakan
dengan mengidentifikasi kata-kata sulit dalam suatu uraian. Dalam
bahasa Inggris kata-kata sulit itu dianggap antara lain ialah kata yang
dalam mengucapkannya terdiri atas lebih dari satu suku kata.<br />
Prosedur yang ditempuh dalam menggunakan Fog Index adalah sebagai berikut,<br />
1. Pilihlah tiga jenis uraian dalam naskah atau buku itu secara acak
yang terdiri atas masing-masing pada bagian awal, tengah, dan akhir.<br />
2. Untuk masing-masing uraian, hitunglah 100 kata mulai dari awal
uraian. Berikan tanda pada kata yang keseratus itu dengan ketentuan:<br />
a. Kata berulang dihitung dua kata.<br />
b. Kata yang digunakan lebih dari satu kali dihitung satu kata.<br />
c. Kata singkatan dan angka (lebih dari satu angka seperti 5000) dihitung satu kata.<br />
3. Hitunglah rata-rata panjang kalimat yang lengkap dalam uraian itu dengan cara:<br />
a. Carilah tanda titik terakhir (sebagai tanda akhir kalimat) sebelum
kata yang keseratus tersebut. Hitung dari awal uraian berapa kalimat
yang sempurna sampai titik terakhir sebelum kata yang keseratus itu.<br />
b. Hitung jumlah kata dari titik terakhir sampai dengan kata yang
keseratus itu. Kemudian jumlah kata itu diergunakan sebagai angka
pengurang dari 100 kata, maka akan diperoleh jumlah kata dalam kalimat
lengkap yang terdapat sampai pada kata yang keseratus itu.<br />
c. Bagilah hasil pengurangan itu dengan jumlah kalimat lengkap (sampai
kata yang keseratus) maka diperoleh jumlah rata-rata kata dalam kalimat
lengkap.<br />
4. Carilah kata-kata yang berjumlah dua suku kata atau lebih sampai kata
yang keseratus dan hitung berapa jumlahnya Kata-kata yang demikian
dianggap kata-kata sukar.<br />
5. Kemudian dihitung dengan menggunakan rumus berikut:<br />
2(RPK + KS)<br />
—————– + 5<br />
5<br />
RPK = Rata-rata Panjang Kalimat<br />
KS = Kata-kata sukar<br />
6. Hasil perhitungan dapat dikategorikan sebagai berikut<br />
Hasil Kategori<br />
a. 12 – 20 Sukar<br />
D. PENGGUNAAN CLOZE TEST DAN FOG INDEX.<br />
Uji keterbacaan dengan menggunakan teknik atau formula yang manapun
bermanfaat untuk penulis, editor dan guru. Dengan mengetahui tingkat
keterbacaan naskah yang ditulisnya, penulis dapat menyempurnakan nasakah
tersbut dari aspek struktur atau pilihan kata. Demikian juga dalam
proses penyuntingan, hasil uji keterbacaan membantu editor dalam
menyunting naskah sehingga dapat dipahami secara baik oleh pembaca
sasaran. Hasil uji keterbacaan membantu guru dalam memilih buku sebagai
sumber belajar dalam suatu bidang studi serta dapat pula membantunya
dalam memberikan penjelasan pokok-pokok bahasan dalam buku itu.<br />
Cloze Test dan Fog Index yang dibicarakan dalam tulisan ini bukanlah
teknik dan formula yang terbaik dari sekian banyak teknik dan formula
yang ada. Kedua cara ini dikemukakan hanya karena dianggap lebih
praktis, lebih cepat, dan lebih mudah untuk digunakan. Secara umum
dapat dikatakan bahwa kata-kata sulit bukanlah semata-mata ukuran untuk
menentukan tingkat kesulitan bahan bacaan. Jenis dan ukuran huruf, mutu
tulisan atau cetakan, serta tata letak dapat saja mempengaruhi
keterbacaan. Panjangnya dan struktur kalimat serta latar belakang atau
karakteristik pembaca juga mempengaruhi tingkat keterbacaan, sungguhpun
hal yang belakangan ini disebut cenderung dianggap lebih mempengaruhi
kemampuan membaca daripada keterbacaan suatu bahan bacaan. Masing-masing
bidang studi memiliki ciri khas sehingga cara menguji keterbacaannya
juga perlu berbeda. Misalnya, cara menguji keterbacaan naskah matematika
dan naskah sejarah tentu saja berbeda. Hasil uji keterbacaan juga
dianggap sulit digeneralisasikan untuk calon pembaca sasaran yang
sifatnya heterogen apalagi kalau sangat heterogen. Kenyataan ini ikut
mendorong penerapan kebijakan lokal atau kebijakan berbasis sekolah<br />
Cloze Test diujikan kepada calon pembaca sasaran. Oleh karena itu
diharapkan dapat memberikan gambaran yang tepat tentang tingkat
keterbacaan naskah itu. Pemilihan sample tentu sangat menentukan
ketepatan hasil test untuk keperluan generalisasi. Test ini memerlukan
banyak waktu dan juga biaya kalau dilakukan dalam ruang lingkup wilayah
atau nasional, apalagi kalau populasinya sangat heterogen. Kalau kurang
penjelasan tentang test ini, pengisi test dapat mengira test ini adalah
untuk menguji kemampua dan pemahamannya dalam membaca, sehingga ia
memberikan sikap yang berbeda dan dapat mengurangi objektivitas test
dilihat dari tujuannya. . Hendaknya tetap diingat bahwa dalam
menggunakan Cloze Test yang diuji adalah keterbacaan naskah bukan
kemampuan membaca.<br />
Awalnya Fog Index dipergunakan untuk menguji keterbacaan dalam bahasa
Inggris. Dalam bahasa tersebut panjang kata dianggap ikut menentukan
kesulitan kata itu. Asumsi tersebut belum tentu sepenuhnya benar. Dapat
saja kata itu hanya terdiri dari satu suku kata tapi asing bagi pembaca
sehingga dianggap sukar. Kesukaran suatu kata juga ditentukan oleh
frekwensi kata itu dipergunakan oleh pembaca. Pendapat ini juga berlaku
untuk semua bahasa. Oleh karena itu Balitbangdikbud pernah mencoba
mengidentifikasi kata-kata yang perlu dipelajari oleh siswa di
masing-masing kelas di SD berdasarkan frekwensi penggunaan kata
tersebut. Sayangnya hasil penelitiam itu kurang disosialisasikan.<br />
Penulis pernah mencoba melihat tingkat keterbacaan suatu naskah dengan
menggunakan Cloze Test dan Fog Index untuk dua kelompok mahasiswa di
Universitas Negeri Jakarta dalam waktu yang berbeda (tahun 2002 dan
2003). Bahan yang diujikan adalah naskah yang sama; hanya bentuknya
disesuaikan dengan persyaratan Cloze Test dan Fog Index. Hasil dari
kedua kelompok itu ternyata sama. Baik berdasarkan Cloze Test maupun Fog
Index , naskah yang diuji itu tergolong agak sukar dipahami.<br />
Pengalaman yang kecil itu menunjukkan bahwa untuk menguji keterbacaan
suatu naskah ada baiknya menggunakan tidak hanya satu jenis cara saja
tetapi ada baiknya dibandingkan dengan cara lain. Kalau Cloze Test
memerlukan banyak biaya dan waktu, Fog Index nampaknya lebih hemat
karena dapat dilakukan oleh penulis, atau editor, atau guru sendiri
tanpa bantuan orang lain.<br />
Hasil test keterbacaan tidak hanya bermanfaat bagi penulis dalam
memperbaiki naskahnya, namun juga dapat bermanfaat bagi guru dalam
memprediksi konsep-konsep yang sukar bagi siswanya. Dengan demikian guru
dapat memberikan penjelasan yang lebih rinci untuk konsep-konsep
tersebut sehingga siswa dapat memahami keseluruhan materi pelajaran
lebih baik.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Hornby, A.S. (2000). Oxford advanced learner’s dictionary of current English. London: Oxfprd University Press<br />
Oller, J.W. (1979). Language tests at school. London: Longman Group Ltd.<br />
Alderson, J.C. (2000). Assessing reading. Cambridge: Cambridge University Press.<br />
Morrison, G.R., Ross, S.M., & Kemp, J.E. (2001). Designing effective instruction. New York: John Wiley & Sons, Inc.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00201607017786352264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5799227774797252935.post-2170307964219973022012-11-11T04:30:00.002-08:002012-11-11T04:30:44.521-08:00sukreni gadis bali<h3 class="post-title entry-title">
<a href="http://kedairomanindonesia.blogspot.com/2010/10/sukreni-gadis-bali.html">SUKRENI GADIS BALI</a>
</h3>
<div class="data">
<span class="clock">
Selasa, 12 Oktober 2010
</span>
<span class="labels">
Label:
<a href="http://kedairomanindonesia.blogspot.com/search/label/Roman%20Jiwa" rel="tag">Roman Jiwa</a>
</span>
</div>
Sukreni Gadis Bali adalah karya penulis baru yang bernama I Gusti
Nyoman panji Tisna. Roman ini termasuk Roman Jiwa. Roman ini terbit pada
tahun 1936 oleh Balai Pustaka Diterbitkan pada tahun 1936 oleh Balai
Pustaka<br />
<br />
Tema cerita: Masalah hukum karma<br />
<br />
Setting cerita: Bali<br />
<br />
Tokoh & Karakter:<br />
<br />
Sukreni: Gadis malang. Dia adalah Anak Manusia Negara dengan suami pertama<br />
Men Negara: Seorang ibu jahat-hati, pilih kasih<br />
Men Nagari: -gadis yang jahat. Dia adalah Anak Manusia Negara dengan suami kedua.<br />
Made Tusam: perampok yang jahat<br />
Aseman: Perampok yang jahat namun ia Taubat<br />
Gustam: Anak hubungan gelap dengan MadeTusam. Dia adalah seorang polisi.<br />
<br />
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5799227774797252935" name="more"></a><br />
Ringkasan:<br />
<br />
Sukreni tinggal bersama ibunya, yang bernama Men Negara.Dia juga serumah
dengan Men Nagari, saudara Sukreni, dari anak Men Negara dengan
suaminya yang kedua.<br />
<br />
Sukreni gadis baik hati itu, setiap hari menjaga toko - toko mereka.
Sukreni mempunyai kecantikan,dan sengaja digunakan sebagai umpan oleh
Men Negara terutama para laki-laki. Toko-toko kecil Mereka yang sangat
ramai, Banyak Pria yang mengganggu Sukreni.<br />
<br />
Namun, hal itu Men Nagari sebagai Saudara nya merasa iri dengan
kecantikan Sukreni . Banyak pula pemuda menyukai Sukreni. salah seorang
Pemuda itu bernama Ida Gde Nagari Swamba.<br />
<br />
Men Nagari dan Men Negara menyerahkan Made Sukreni untuk diperkosa oleh
Made Tusam. Made Tusam langsung untuk melampiaskan nafsu birahinya
kepada Sukreni. Tak lama setelah kejadian, Sukreni mengandung dan pergi
meninggalkan rumah Men Negara, dan pada akhirnya di bertemu dengan
Aseman. Aseman sendiri dulu, adaloah perampok yang jahat namun sekarangb
ia bertaubat<br />
<br />
Dari hasil perkosaan, lahirlah anak Sukreni yang bernama Gustam atau Si KEBAL. Anak tersebut nantinya akan menjadi polisi.<br />
<br />
Suatu hari, I Made Tusam telah menjadi buronan oleh polisi. Salah satu
polisi mengejar itu tak lain anaknya sendiri.Dalam pengejaran, terjadi
duel antara Bapak dan Anak. Tapi akhirnya, kedua manusia itu mati
bersama-sama. Seorang ayah membunuh anaknya, dan anak yang membunuh
Bapaknya.<br />
<br />
Namun, sebelum pertarungan itu terjadi,Gustam telah membakar took-toko
milik men Negara. Hingga akhirnya Men Negara jatuh miskin.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00201607017786352264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5799227774797252935.post-41978217844231542582012-11-10T18:38:00.002-08:002012-11-10T18:38:56.856-08:00sinopsis layar terkembang<h2>
<a href="http://unsilster.com/2009/12/sinopsis-layar-terkembang/">Sinopsis Layar Terkembang</a></h2>
Tuti adalah putri sulung Raden Wiriatmadja. Dia dikenal sebagai
seorang gadis yang pendiam teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan
organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam
sangat berbeda dengan adiknya Maria. Ia seorang gadis yang lincah dan
periang.<br />
Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik
melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan
itu berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang
Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang
Munaf, tinggap di Martapura, Sumatra Selatan.<br />
Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya
Tuti dan Maria pulang. Bagi yusuf, perteman itu ternyata berkesan cukup
mendalam. Ia selal teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria.
Kepada gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak tertumpah.
Menurutnya wajah Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang
selalu tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis.<br />
Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia
bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun
kemudian dengan senang hati menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup
hangat mereka bercakap-cakap mengenai berbagai hal.<br />
Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap.
Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak
sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.<br />
Tuti sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam kongres
Putri Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya
membicarakan emansipasi wanita. Suatu petunjuk yang memperlihatkan
cita-cita Tuti untuk memajukan kaumnya.<br />
Pada masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura.
Sesungguhnya ia bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan
tanah leluhurnya, namun ternyata ia tak dapat menghilangkan rasa
rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian, datang pula kartu pos
dari Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. Berikutnya, surat
Maria datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalannya bersama
Rukamah, saudara sepupunya yang tinggal di Bandung. Setelah membaca
surat itu, Yusuf memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian menyusul
sang kekasih ke Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun
segera meninggalkan Martapura.<br />
Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti.
Kedua sejoli itu pun melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan
di sekitar air terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan
cintanya kepada Maria.<br />
Sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti
sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku.
Sesungguhpun demikian pikiran Tuti tidak urung diganggu oleh
keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat pula ia pada teman
sejawatnya, Supomo. Lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada
Tuti.<br />
Ketika Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan
sabar. Saat itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk
meminta jawaban Tuti perihal keinginandsnya untuk menjalin cinta
dengannya. Sesungguhpun gadis itu sebenarnya sedang merindukan cinta
kasih seorang, Supomo dipandangnya sebagai bukan lelaki idamannya. Maka
segera ia menulis surat penolakannya.<br />
Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian
diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Ternyata menurut keterangan
dokter, Maria mengidap penyakit TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan
agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat.<br />
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun
keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria
mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah
pasrah menerima kenyataan.<br />
Pada suatu kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna
dan Saleh di Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam
memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati
hari-harinya dengan bercocok tanam itu, ternyata juga mampu membimbing
masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan
tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari
bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat
dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana
yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarakat mana
pun, pengabdian itu dapat dilakukan.<br />
Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini
tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian
mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat
berbuat lebih banyak lagi. Kemudian setelah Maria sempat berpesan kepada
Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah
tangga, Maria mengjhembuskan napasnya yang terakhir. “Alangkah
bahagianya saya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku
berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya
dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan
saya, saya tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing
mencari peruntungan pada orang lain”. Demikianlah pesan terakhir
almarhum Maria. Lalu sesuai dengan pesan tersebut Yusuf dan Tuti
akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melangsungkan perkawinan
karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.<br />
2. Unsur Instrinsik Novel<br />
1. Tema : Perjuangan Wanita Indonesia<br />
2. Latar / Setting ;<br />
A. Gedung Akuarium di Pasar Ikan,<br />
B. Rumah Wiriaatmaja,<br />
C. Mertapura di Kalimantan Selatan,<br />
D. Rumah Sakit di Pacet,<br />
E. Rumah Partadiharja,<br />
F. Gedung Permufakatan.<br />
3. Alur : Maju<br />
4. Sudut Pandang : Orang ketiga yang ditandai dengan menggunakan nama dalam menyebutkan tokoh-tokohnya.<br />
5. Penokohan<br />
a. Maria : Anak Raden Wiriaatmaja, seseorang yang mudah kagum,mudah memuji dan memuja,lincah dan periang.<br />
b. Tuti : Anak Raden Wiriaatmaja, seseorang yang aktif dalam berbagai
kegiatan wanita,selalu serius,jarang memuji,pandai dan cakap dalam
mengerjakan sesuatu.<br />
c. Yusuf : Putra Demang Munaf di Mrtapura, seseorang mahasiswa kedokteran yang pandai dan baik hati.<br />
d. Wiriaatmaja : Ayah dari Maria dan Tuti, seorang yang memegang teguh agama,baik hati dan penyayang.<br />
e. Partadiharja : Adik Ipar Wiriaatmaja, seseorang yang baik hati, teguh pendirian dan peduli antar sesama.<br />
f. Saleh : Adik Partadiharja, seorang lulusan sarjana yang sangat peduli
akan alam sehingga ia mengabdikan diri sebagai seorang petani.<br />
g. Rukamah : Sepupu Tuti dan Maria, seseorang yang baik hati dan suka bercanda.<br />
h. Ratna : Istri saleh, Seorang petani yang pandai dan baik hati.<br />
i. Juru Rawat : Seorang yang baik hati.<br />
7. Amanat : Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga
dapat memberikan pengaruh yang sangat besar didalam kehidupan berbangsa
dan bernegara dengan demikian perempuan dapat lebih dihargai
kedudukannya di masyarakat.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00201607017786352264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5799227774797252935.post-37808542043529551092012-11-10T18:29:00.002-08:002012-11-10T18:29:13.384-08:00novel layar terkembang<div class="reflowed_document">
<i>NOVEL LAYAR TERKEMBANG</i><br />
Tuti adalah putri sulung dari Raden Wiriatmadja. Ia dikenal sebagai seorang gadis yang
berpendirian teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang
selalu serius dan cenderung pendiam, sangat berbeda dengan adiknya, Maria. Ia seorang gadis
yang lincah dan periang.<br />
Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat akuarium,
mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan. Pemuda
itu bernama Yusuf, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah
Demang Munaf, tinggal di Martapura, Sumatera Selatan.<br />
Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria pulang ke
rumah. Bagi Yusuf, pertemuan itu berkesan cukup mendalam. Ia selalu teringat dengan kedua
gadis tersebut, terutama Maria. Kepada gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak
tercurahkan. Menurutnya, wajah Maria yang cerah dan berseri-seri, serta bibirnya yang selalu
tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis.<br />
Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka, Yusuf bertemu lagi dengan
Tuti dan Maria di depan hotel Des Indes. Yusuf pun dengan senang hati menemani keduanya
berjalan-jalan. Di perjalanan, mereka bercakap-cakap sangat akrab, terutama Maria dan Yusuf.
Sejak perkenalan itu, hubungan antara Maria dan Yusuf menjadi hubungan cinta.
Sementara, Tuti tidak sempat memikirkan Yusuf karena kegiatan kongres-kongres yang amat
sering diikutinya sehingga perhatiannya tidak tercurah pada kenalan baru mereka.
Suatu ketika terjadi salah paham antara Tuti dan adiknya. Tuti tidak ingin adiknya diperbudak
oleh perasaan dan rasa rendah diri di muka laki-laki. Ia ingin Maria tidak tergantung pada
Yusuf karena hubungaan cinta itu. Tuti menganggap sikap Maria yang amat mengharapkan
Yusuf itulah yang menyebabkan martabat kaum wanita justru direndahkan.
Maria menjawab bahwa pikiran Tuti itu mengandaikan bahwa hubungan percintaan selalu
diperhitungkan oleh hubungan fungsional. segala sesuatu ditimbang dan diukur dengan
berbelit-belit. Maria bahkan menyinggung dengan keras bahwa sikap yang dipilih kakaknya
sebagai penyebab putus dengan Hambali tunangannya. Pertengkaran itu berakibat jauh bagi
tuti. Ia mulai berpikir dan goyah pada sikap yang selama ini diyakininya. Sikap tuti
berangsur-angsur berubah. Di rumah pamannya dia menujukan rasa kasihnya pada rukmini
sepupunya, dia mulai memerhatikan kesenian sandiwara yang dimainkan oleh adiknya dan
yusuf. Tuti mulai dapat menghargai hal-hal yang duku dianggapnya remeh. Selama itu baru di
sadarinya bahwa apa yang di katakannya dalam kongres-kongres atau apa yang dipikirkannya
tidak terjadi dalam kehidupan pribadinya. Ia mulai merasakan kesepiaan dalam
kesendiriannya.<br />
Di tempatnya bekarja, tuti mendapat teman baru, seorang guru muda bernama soepomo.
Lambat laun perasaan cintanya bersemi. Namun proses itu tidak lama. Ia kembali idealis.
Selama menjadi kekasih soepomo sebenarnya disadarinya juga bahwa hatinya tergerak bukan
sikap yang tulus mencintai Soepomo. Ia yakin sikapnya pada Soepomo hanyalah pelarian dari
kesepiaan batin dan dari kegoncangan pandangan-pandangannya semula. Ketika Soepomo
akan mengambilnya menjadi istrinya, Tuti harus memilih kawin atau tetap setia pada
organisasi Putri Sedar yang tidak dapat di tinggalkannya. Ia teringat peristiwa putusnya
hubungan pertunangannya dengan Hambali. Akhirnya Tuti tetap mengambil keputusan ia
harus meninggalkan Soepomo karena memang tidak di cintainya, walaupun usia Tuti telah 27
tahun.
Maria adiknya sakit parah. Ia terserang malaria, muntah darah dan TBC. Keluarga Wiraatmaja
akhirnya merelakan Maria di rawat di rumah sakit Pacet.<br />
Perhatian Tuti beralih pada Maria. Ia amat sedih dan khawatir akan keadaan adiknya.
Yusuf yang sering berkunjung ke Pacet secara kebetulan dan kemudian menjadi dekat pada
Tuti. Mereka berdua amat prihatin akan keadaan Maria
Keadaan Maria berakhir dengan kematiannya. Sebelum meninggal Maria telah berpesan
kepada Tuti supaya kelak kalau jiwanya tidak terselamatkan, kakaknya bersedia menjadi istri
kekasihnya saat ini.<br />
Tuti dan Yusuf telah kehilangaan seseorang yang mereka kasihi bersama. Sepeninggal
Maria, Tuti merasakan bahwa Yusuf dapat dicintainya dengan tulus,demikian pula cinta Yusuf
pada Tuti. Sekarang Tuti merasa yakin bahwa Yusuf adalah calon suami yang baik yang bisa
dicintainya.<br />
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00201607017786352264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5799227774797252935.post-55785646179519382892012-11-10T18:00:00.003-08:002012-11-10T18:00:20.303-08:00intrisik<h1>
<a href="http://yayan.guru-indonesia.net/artikel_detail-21963.html" target="_parent">UNSUR INTRINSIK NOVEL</a></h1>
<div class="post_info">
<a href="http://yayan.guru-indonesia.net/arsip_tgl-22042012.html">22-04-2012 14:59:10</a>, pada <a href="http://yayan.guru-indonesia.net/kategori_isi-14476.html">Sastra Indonesia</a>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Novel ialah cerita dalam
bentuk prosa fiksi dalam ukuran yang luas. Keluasan tersebut ditunjukkan
oleh kekompleksan plot, keragaman karakter, kekompleksan tema,
keragaman suasana cerita, dan keragaman latar cerita (Najid, 2003: 15).
Ensiklopedia Americana memberi batasan bahwa novel ialah cerita dalam
bentuk prosa yang cukup panjang dan meninjau kehidupan sehari-hari.
Novel memberi kemungkinan kepada pembaca untuk menangkap perkembangan
kejiwaan tokoh secara lebih menyeluruh. Novel juga memungkinkan adanya
penyajian secara panjang lebar mengenai persoalan manusia. Novel lebih
leluasa dalam mengeksploitasi detil-detil peristiwa, suasana, dan
karakter tokoh untuk menghidupkan cerita. Keutuhan sebuah novel tidak
ditopang oleh kepadatan cerita, namun ditopang oleh tema karyanya
(Najid, 2003: 18-19).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Novel terdiri atas tiga bentuk:
(1) novel percintaan, yaitu novel yang melibatkan peranan tokoh wanita
dan pria secara seimbang, terkadang wanita lebih dominan; (2) novel
petualangan, yaitu novel yang melibatkan banyak masalah dunia laki-laki;
(3) novel fantasi, novel yang bercerita tentang hal-hal yang tidak
realistis dan tidak logis serta serba tidak mungkin dilihat dari
pengalaman sehari-hari (Najid, 2003: 15).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam dunia kesastraan sering
ada usaha untuk mencobabedakan antara novel serius dengan novel populer.
Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih
intens, tidak berusaha memahami hakikat kehidupan. Sebab jika demikian
halnya, novel populer akan menjadi berat dan berubah menjadi novel
serius. Novel serius di samping memberikan hiburan, juga secara implisit
bertujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau
paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih
sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan (Nurgiyantoro,
2007: 18-19). </div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Unsur </strong><strong>I</strong><strong>ntrinsik </strong><strong>N</strong><strong>ovel</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Unsur-unsur intrinsik ialah
unsur-unsur yang membangun karya sastra. Unsur-unsur inilah yang
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur-unsur yang
secara faktual akan dijumpai jika seseorang membaca karya sastra. Unsur
intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut
serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah
yang membuat sebuah novel berwujud (Nurgiyantoro, 2007: 23). Unsur-unsur
intrinsik tersebut adalah sebagai berikut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Tema</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Tema merupakan gagasan dasar
umum yang menopang sebuah karya sastra. Tema menjadi dasar pengembangan
seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu.
Tema mempunyai generalisasi umum, lebih luas, dan abstrak. Dengan
demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah
disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan
bagian-bagian tertentu cerita (Nurgiyantoro, 2007: 68). Dengan demikian,
tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah
karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan
sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita.
Dengan kata lain, cerita tentunya akan “setia” mengikuti gagasan dasar
umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga berbagai
peristiwa-konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain
seperti penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan
mencerminkan gagasan dasar umum tersebut (Nurgiyantoro, 2007:70).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tema terbagi menjadi dua jenis:</div>
<div style="text-align: justify;">
1) Tema mayor: tema pokok, tema utama, yaitu permasalahan dominan yang menjiwai cerita.</div>
<div style="text-align: justify;">
2) Tema minor: tema bawahan, yaitu persoalan-persoalan kecil yang mendukung keberadaan tema mayor (Najid, 2003: 28).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Penokohan</strong><strong> </strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebuah novel tanpa penokohan
adalah suatu hal yang mustahil. Daya tarik sebuah novel terpancar
melalui imajinasi kreatif pengarang. Melalui imajinasi itulah, pembaca
dapat berkenalan dengan sejumlah variasi tipe manusia beserta
masalahnya. Jika kita membaca sebuah novel, bagian paling penting yangg
harus dilakukan ialah usaha untuk mencari nilai yang disuguhkan
pengarang pada setiap tokoh (Rahmanto, 1992: 71). </div>
<div style="text-align: justify;">
Suatu peristiwa dalam prosa
fiksi selalu didukung oleh sejumlah tokoh atau pelaku-pelaku tertentu.
Pelaku yang mendukung peristiwa sehingga mampu menjalin suatu cerita
disebut tokoh, sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh disebut
penokohan. Oleh karena itu, penokohan merupakan unsur cerita yang tidak
dapat ditiadakan. Dengan adanya penokohan, sebuah cerita menjadi lebih
nyata dan lebih hidup. Melalui penokohan itu pula, seorang pembaca dapat
dengan jelas menangkap wujud manusia atau makhluk lain yang
perikehidupannya sedang diceritakan pengarangnya (Najid, 2003: 23).
Istilah penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah
cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca
(Nurgiyantoro, 2007: 166).</div>
<div style="text-align: justify;">
Tokoh dalam prosa fiksi
memiliki peran yang berbeda-beda. Tokoh yang memiliki peran penting
dalam suatu cerita disebut tokoh sentral/ tokoh inti atau tokoh utama,
sedangkan tokoh yang hanya berfungsi melengkapi, melayani tokoh utama
disebut sebagai tokoh <em>peripheral</em> (tokoh pembantu). Penentuan kedua tokoh tersebut didasarkan pada:</div>
<div style="text-align: justify;">
1) Frekuensi kemunculan tokoh dalam cerita. Tokoh utama umumnya sering atau bahkan selalu muncul dalam setiap <em>episode</em>, sedangkan tokoh bawahan kecil sekali tingkat kemunculannya dalam cerita.</div>
<div style="text-align: justify;">
2) Komentar pengarang. Tokoh utama
umumnya adalah tokoh yang sering dikomentari dan dibicarakan oleh
pengarang cerita, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan sekadarnya
saja.</div>
<div style="text-align: justify;">
3) Judul cerita. Tokoh utama biasanya dijadikan sebagai judul sebuah cerita (Najid, 2003:23).</div>
<div style="text-align: justify;">
Tokoh utama adalah tokoh yang
diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan
tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian
maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel tertentu, tokoh
utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam
tiap halaman buku cerita yang bersangkutan. Pada novel-novel yang lain,
tokoh utama tidak muncul dalam setiap kejadian, atau tak langsung
ditunjuk dalam setiap bab, namun ternyata dalam kejadian atau bab
tersebut tetap erat berkaitan, atau dapat dikaitkan dengan tokoh utama.
Di pihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita
lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada
keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung.
Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin saja lebih dari seorang, walau
kadar keutamaannya tak selalu sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh
dominasi, banyaknya penceritaan, dan pengaruhnya terhadap perkembangan
plot secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2007: 176-177). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berdasar atas karakternya, aspek tokoh dapat dibedakan menjadi:</div>
<div style="text-align: justify;">
1) Tokoh sederhana: tokoh yang kurang
mewakili personalitas manusia dan biasanya hanya ditonjolkan dari satu
dimensi saja. Tokoh ini cenderung tidak dikembangkan atau tidak memiliki
kemungkinan untuk berkembang menjadi tokoh kompleks yang termasuk tokoh
sederhana adalah tokoh yang sudah biasa, familiar, atau tokoh
stereotip.</div>
<div style="text-align: justify;">
2) Tokoh kompleks: tokoh yang dapat
dilihat dari semua sisi kehidupannya. Tokoh seperti ini memiliki
kemungkinan berkembang karena memiliki kepribadian yang kompleks. Ia
lebih menyerupai pribadi yang hidup sehingga memberikan kejutan pada
pembacanya (Najid, 2003: 23).</div>
<div style="text-align: justify;">
Penggolongan tokoh berdasarkan keterkaitan dengan konflik:</div>
<div style="text-align: justify;">
1) Tokoh protagonis: tokoh yang membawa ide prinsipil atau ide pokok.</div>
<div style="text-align: justify;">
2) Tokoh antagonis: tokoh yang selalu menentang ide prinsipil</div>
<div style="text-align: justify;">
3) Tokoh tritagonis: tokoh yang berfungsi sebagai pendamai antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis (Najid, 2003: 24).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun cara pengarang menampilkan watak tokoh cerita adalah sebagai berikut:</div>
<div style="text-align: justify;">
1) Disampaikan sendiri oleh pengarang kepada pembaca.</div>
<div style="text-align: justify;">
2) Disampaikan oleh pengarang melalui perkataan tokoh-tokoh cerita itu sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
3) Disampaikan melalui apa yang dikatakan oleh tokoh lain tentang tokoh tertentu.</div>
<div style="text-align: justify;">
4) Disampaikan melalui pemikiran, perasaan, pekerjaan, dan perbuatan tokoh cerita (Rahmanto, 1992: 72).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Latar</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Latar dalam prosa fiksi
terbagi menjadi tiga jenis, yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar
sosial. Latar waktu berkait dengan penempatan waktu cerita. Latar tempat
berkait erat dengan masalah geografis, merujuk suatu tempat tertentu
terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar sosial berkait dengan kehidupan
kemasyarakatan dalam cerita. Latar cerita bukan sekedar sebagai
penunjuk kapan dan dimana sebuah cerita terjadi, namun ia juga sebagai
tempat pengambilan nilai-nilai yang diungkapkan pengarang melalui
ceritanya. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa latar sebenarnya
memiliki dua tipe, yaitu fisikal dan psikologis. Latar fisikal umumnya
berupa benda-benda konkret seperti: meja, kursi, dan lain-lain. Apabila
latar fisikal tersebut mampu menggerakkan emosi pembaca, maka latar
tersebut juga berfungsi sebagai latar psikologis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perbedaan latar fisikal dan latar psikologis tampak pada empat ciri yang terpaparkan di bawah ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
1) Latar fisikal berkait dengan
tempat, benda, dan peristiwa yang tidak menuansakan makna apa-apa,
sedangkan latar psikologis ialah latar yang berupa benda, tempat, dan
peristiwa yang mampu memengaruhi emosi pembaca.</div>
<div style="text-align: justify;">
2) Latar fisikal terbatas pada sesuatu
yang bersifat fisik dan dapat ditangkap dengan pancaindera, sedangkan
latar psikologis dapat berupa suasana, sikap, serta jalan pikiran
manusia atau tokoh cerita.</div>
<div style="text-align: justify;">
3) Untuk memahami latar fisikal,
pembaca cukup melihat apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap
latar psikologis membutuhkan penghayatan dan penafsiran.</div>
<div style="text-align: justify;">
4) Latar fisikal dan psikologis saling berpengaruh (Najid, 2003: 25). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Sudut Pandang</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam menampilkan ceritanya,
pengarang dapat berposisi berbeda-beda. Cara memandang tokoh-tokoh
cerita dengan menempatkan dirinya (pengarang) pada posisi tertentu
disebut sudut pandang atau titik pandang atau pusat pengisahan (Najid,
2003: 27). Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,
siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan
ceritanya (Nurgiyantoro, 2007: 248). Jenis-jenis sudut pandang adalah
sebagai berikut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1) Sudut pandang persona ketiga: “Dia”</div>
<div style="text-align: justify;">
Pengisahan cerita yang
mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah
seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita
dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama
tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut,
dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah
pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang
bertindak (Nurgiyantoro, 2007: 256).</div>
<div style="text-align: justify;">
Sudut pandang “dia” dapat
dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan
keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya, yaitu sudut pandang
“dia” mahatahu dan sudut pandang “dia” sebagai pengamat. Dalam sudut
pandang “dia” mahatahu, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun
pengarang dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh
“dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu. Ia
mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk
motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan
apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari
tokoh “dia” yang satu ke tokoh “dia” yang lain. Dalam teknik mahatahu,
narator mampu menceritakan sesuatu, baik yang bersifat fisik, dapat
diindera, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati dan pikiran
tokoh, bahkan lebih dari seorang tokoh, seolah-olah tidak ada satu
rahasiapun tentang tokoh yang tidak diketahui oleh narator. Hal tersebut
menjadikan pembaca lebih terlibat secara emosional terhadap cerita.
Bahkan, rasanya pembaca ingin membisikkan sesuatu kepada tokoh tentang
hal-hal “penting” yang tidak diketahuinya. Misalnya, pembaca ingin
memberi tahu seorang tokoh bahwa kawan seperjuangannya itu sebenarnya
seorang pengkhianat bangsa yang sangat membahayakan (Nurgiyantoro, 2007:
257-259).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam sudut pandang
“dia” sebagai pengamat/ terbatas, seperti halnya dalam “dia” mahatahu,
pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan
dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh
saja. Tokoh cerita mungkin saja banyak yang juga berupa tokoh “dia”,
namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya
seperti halnya tokoh pertama/ utama. Hal itu disebabkan karena dalam
teknik ini hanya ada seorang tokoh yang terseleksi untuk diungkap
(Nurgiyantoro, 2007: 259-260). </div>
<div style="text-align: justify;">
2) Sudut pandang persona pertama: “Aku”</div>
<div style="text-align: justify;">
Sudut pandang persona pertama
dapat dibedakan ke dalam dua golongan yaitu sudut pandang “aku” sebagai
tokoh utama dan sudut pandang “aku” sebagai tokoh tambahan. Dalam sudut
pandang “aku” sebagai tokoh utama, si “aku” menjadi fokus, pusat
kesadaran, dan pusat cerita, atau dapat dikatakan menceritakan kehidupan
tokoh “aku”. Dalam sudut pandang “aku” sebagai tokoh tambahan, tokoh
“aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita
yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri
berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri
itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak
tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan
tokoh-tokoh lain (Nurgiyantoro, 2007: 263-265). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Gaya Bahasa</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahasa dalam prosa fiksi
memilki peran ganda, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai penyampai
gagasan pengarang, namun juga sebagai penyampai perasaannya. Beberapa
cara yang ditempuh oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa prosa fiksi
(novel) ialah dengan menggunakan perbandingan, menghidupkan benda mati,
melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Itulah
sebabnya, terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat
khas (Najid, 2003: 27). Dalam karya sastra, istilah gaya mengandung
pengertian cara seorang pengarang dalam menyampikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan
makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi
pembaca (Aminuddin, 2009: 72).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Gaya atau gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah <em>style</em>. Kata <em>style</em> diturunkan dari kata Latin <em>stilus</em>,
yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian
menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada
lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian
untuk menulis indah, maka <em>style</em> lalu berubah menjadi kemampuan
dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah
(Keraf, 2006: 112). Jenis-jenis gaya bahasa meliputi:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat</strong></div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Repetisi, yaitu perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian
kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks
yang sesuai. </li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Contoh:</div>
<div style="text-align: justify;">
Atau maukah kau <strong>pergi bersama</strong> serangga-serangga tanah, <strong>pergi bersama</strong> kecoak-kecoak, <strong>pergi bersama</strong> meraka yang menyusupi tanah, menyusupi alam? (Keraf, 2006:127). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Gaya Bahasa Retoris</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Elipsis, yaitu suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur
kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh
pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya
memenuhi pola yang berlaku.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Contoh:</div>
<div style="text-align: justify;">
Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, </div>
<div style="text-align: justify;">
badanmu sehat; tetapi psikis.... (Keraf, 2006: 132).</div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Eufimisme, yaitu semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak
menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk
menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina,
menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak
menyenangkan (Keraf, 2006: 132).</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Contoh:</div>
<div style="text-align: justify;">
Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Anak Saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Litotes, yaitu semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan
sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang
dari keadaan sebenarnya, atau suatu pikiran dinyatakan dengan
menyangkal lawan katanya (Keraf, 2006: 132-133).</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Contoh:</div>
<div style="text-align: justify;">
Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.</div>
<div style="text-align: justify;">
Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun- </div>
<div style="text-align: justify;">
tahun lamanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Pleonasme dan Tautologi, yaitu acuan yang mempergunakan kata-kata
lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan suatu pikiran
atau gagasan. Walaupun secara praktis kedua istilah itu disamakan
saja, namun ada yang ingin membedakan keduanya. Suatu acuan disebut
pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap
utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang
berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata
yang lain.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Contoh:</div>
<div style="text-align: justify;">
Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
Darah yang merah itu melumuri seluruh tubuhnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ungkapan tersebut adalah pleonasme
karena semua acuan itu tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun
dihilangkan kata-kata: dengan telinga saya dan yang merah itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Contoh:</div>
<div style="text-align: justify;">
Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Globe itu bundar bentuknya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Acuan di atas disebut tautologi karena
kata berlebihan itu sebenarnya mengulang kembali gagasan yang sudah
disebut sebelumnya, yaitu malam sudah tercakup dalam jam 20.00 dan
bundar sudah tercakup dalam globe (Keraf, 2006: 133-134).</div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Hiperbol, yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Contoh:</div>
<div style="text-align: justify;">
Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir meledak aku</div>
<div style="text-align: justify;">
(Keraf, 2006: 135).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Paradoks, yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Contoh:</div>
<div style="text-align: justify;">
Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang berlimpah-limpah </div>
<div style="text-align: justify;">
(Keraf, 2006: 136). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Gaya Bahasa Kiasan</div>
<div style="text-align: justify;">
a) Persamaan atau Simile, yaitu
perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan
yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama
dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara
eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama,
sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Contoh:</div>
<div style="text-align: justify;">
Bibirnya seperti delima merekah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Persamaan masih dapat dibedakan lagi
atas persamaan tertutup dan persamaan terbuka. Persamaan tertutup adalah
persamaan yang mengandung perincian mengenai sifat persamaan itu,
sedangkan persamaan terbuka adalah persamaan yang tidak mengandung
perincian mengenai sifat persamaan itu (Keraf, 2006: 138).</div>
<div style="text-align: justify;">
Contoh:</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Tertutup</strong>: Saat menantikan pengumuman hasil ujian terasa <strong>tegang</strong> seperti </div>
<div style="text-align: justify;">
mengikuti pertandingan bulu tangkis dalam set terakhir dengan </div>
<div style="text-align: justify;">
kedudukan 14-14.</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Terbuka</strong>: Saat menantikan pengumuman hasil ujian terasa seperti mengikuti </div>
<div style="text-align: justify;">
pertandingan bulu tangkis dalam set terakhir dengan kedudukan 14-14.</div>
<div style="text-align: justify;">
b) Metafora, yaitu semacam analogi
yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang
singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan
sebagainya (Keraf, 2006: 139).</div>
<div style="text-align: justify;">
Contoh:</div>
<div style="text-align: justify;">
Pemuda-pemudi adalah bunga bangsa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
c) Personifikasi, yaitu semacam
gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau
barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat
kemanusiaan (Keraf, 2006: 140).</div>
<div style="text-align: justify;">
Contoh: .</div>
<div style="text-align: justify;">
Matahari kembali ke peraduannya, ketika kami tiba di sana.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
d) Sinekdoke, yaitu semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (<em>pars pro toto</em>) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (<em>totem pro parte</em>).</div>
<div style="text-align: justify;">
Contoh:</div>
<div style="text-align: justify;">
Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,- (pars pro toto)</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia di </div>
<div style="text-align: justify;">
Stadion Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4 (totem proparte)</div>
<div style="text-align: justify;">
(Keraf, 2006: 142).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Alur</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebuah cerpen atau novel
menyajikan sebuah cerita kepada pembacanya. Sebuah cerita adalah
peristiwa yang jalin-menjalin berdasar atas urutan waktu, kejadian, atau
hubungan sebab-akibat. Jalin-menjalinnya berbagai peristiwa, baik
secara linier atau lurus maupun secara kausalitas, yang membentuk satu
kesatuan yang utuh, padu, dan bulat dalam suatu prosa fiksi disebut alur
cerita (Najid, 2003: 20).</div>
<div style="text-align: justify;">
Susunan alur dalam sebuah prosa fiksi secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian:</div>
<div style="text-align: justify;">
1) Bagian awal: berisi informasi
penting yang berkaitan dengan hal-hal yang diceritakan pada tahap-tahap
berikutnya.Informasi-informasi tersebut dapat berupa pengenalan latar,
pengenalan tokoh, dan penciptaan suasana.</div>
<div style="text-align: justify;">
2) Bagian tengah: menyajikan
konflik yang sudah mulai dimunculkan. Konflik bisa terjadi secara
internal (konflik batin) maupun eksternal (konflik sosial).</div>
<div style="text-align: justify;">
3) Bagian akhir: merupakan tahap
peleraian. Berbagai jawaban atas berbagai persoalan yang dimunculkan
dalam cerita terlihat alternatif penyelesaiannya (Najid, 2003: 20). </div>
<div style="text-align: justify;">
Pembedaan plot (alur)
berdasarkan kriteria urutan waktu ada dua kategori, yaitu alur
kronologis dan tak kronologis. Alur kronologis disebut sebagai alur maju
atau progresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika cerita
dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik),
tahap tengah (konflik meningkat, klimaks), dan tahap akhir
(penyelesaian). Plot progresif biasanya menunjukkan kesederhanaan cara
penceritaan, tidak berbelit-belit, dan mudah diikuti. Alur tak
kronologis disebut sebagai alur sorot balik (<em>flash-back</em>) atau
regresif. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot
regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap
awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian
tahap awal cerita dikisahkan (Nurgiyantoro, 2007: 153-154). Selain alur
sorot balik, ada juga alur campuran. Alur campuran adalah alur yang
diawali klimaks, kemudian melihat lagi masa lampau dan dilanjutkan
sampai pada penyelesaian. Oleh karena itu, cerita yang menggunakan alur
ini ada bagian yang menceritakan masa lalu dan masa mendatang
(http://hoesnaeni.wordpress.com).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Amanat</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam berkarya, pengarang
pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai dengan karyanya,
tujuan inilah yang disebut amanat. Umumnya, amanat cerita berisi
ajaran-ajaran moral, yaitu ajakan, saran, atau anjuran kepada pembaca
untuk meningkatkan kesadaran kemanusiaannya (Najid, 2003: 28).</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebuah karya fiksi ditulis
oleh pengarang untuk, antara lain, menawarkan model kehidupan yang
diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah
laku para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Melalui
cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan
dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang
diamanatkan. Moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh
pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Dengan
demikian, tokoh yang kurang terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh
antagonis maupun protagonis, tidaklah berarti bahwa pengarang
menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian.
Sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model, model yang kurang
baik, yang sengaja ditampilkan justru agar tidak diikuti atau minimal
tidak dicenderungi oleh pembaca. Pembaca diharapkan dapat mengambil
hikmah sendiri dari cerita tentang tokoh jahat itu. Eksistensi sesuatu
yang baik, biasanya justru akan lebih mencolok jika dikonfrontasikan
dengan yang sebaliknya (Nurgiyantoro, 2007: 321-322).</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00201607017786352264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5799227774797252935.post-69014457760998601392012-11-10T17:23:00.001-08:002012-11-10T17:23:41.452-08:00unsur intrisik n ektrinsik <h1 class="title entry-title" itemprop="name">
<a href="http://odazzander.blogspot.com/2012/01/unsurunsur-pembangun-cerita-pendek.html" itemprop="url" rel="bookmark">
Unsur–Unsur Pembangun Cerita Pendek</a>
</h1>
<div style="color: #351c75; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzAGqWSkF8Az4045hKOq-qm_o9GokMzkOjnawUMGrVD_L0-37lAZI8drdXADrdtek1Lt0y1PV2PPu8K8wShxMS0w3BCKAEvyZ9MD5GElZnr_az1v_cs1-dJME20S0DETLZgsDI5nbVvXE/s1600/membaca-buku.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="237" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzAGqWSkF8Az4045hKOq-qm_o9GokMzkOjnawUMGrVD_L0-37lAZI8drdXADrdtek1Lt0y1PV2PPu8K8wShxMS0w3BCKAEvyZ9MD5GElZnr_az1v_cs1-dJME20S0DETLZgsDI5nbVvXE/s320/membaca-buku.jpg" width="320" /></a><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"></span><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">
Sebuah cerita pendek atau novel mempunyai unsur–unsur yang saling
mengikat, membentuk kebersamaan dalam penyajiannya. Unsur–unsur tersebut
dibagi menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur
intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, di
antaranya adalah tema, alur/plot, tokoh dan penokohan, latar, gaya
bahasa, sudut pandang, dan amanat. Unsur ekstrinsik adalah unsur–unsur
yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung unsur
tersebut mempengaruhi karya sastra.</span></div>
<div style="color: #351c75; text-align: justify;">
<br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">
Suharianto (1982:28) mengatakan bahwa unsur–unsur intrinsik cerita
pendek itu terdiri atas tema, alur, penokohan, latar, tegangan atau
padahan, suasana, pusat pengisahan atau point of view, dan gaya bahasa. </span></div>
<div style="color: #351c75; text-align: justify;">
<br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">
Baribin (1985:52) berpendapat bahwa unsur pembangun fiksi itu terdiri
atas: (1) perwatakan, (2) tema dan amanat, (3) alur atau plot, (4) latar
dan gaya bahasa, dan (5) pusat pengisahan. </span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Menurut
Nurgiyantoro (2002:12) unsur-unsur pembangun sebuah cerita pendek ada
dua unsur yaitu unsur intrinsik atau unsur-unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri antara lain: (1) plot, (2) Tema, (3) penokohan, (4)
latar, (5) kepaduan. Di pihak lain, unsur ekstrinsik atau unsur yang
berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra antara lain
adalah keadaan subjektifitas individu pengarang yang memiliki sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya akan mempengaruhi karya
yang ditulisnya.</span></div>
<br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">
Meskipun dari pendapat ahli sastra berbeda, tetapi dari segi isinya
masih banyak hal yang sama. Perbedaannya hanyalah terletak pada segi
kuantitas atau jumlah. Berdasarkan pendapat dari ahli sastra di atas
dapat disimpulkan bahwa unsur–unsur intrinsik pembangun karya sastra
cerita pendek secara umum meliputi: (1) tema, (2) alur, (3) latar, (4)
tokoh dan penokohan, (5) sudut pandang, (6) gaya bahasa, dan (7) amanat.</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Unsur
ekstrinsik cerita pendek antara lain keyakinan pengarang, pandangan
hidup, faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik,
keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Menurut Nurgiyantoro
(2002:24) unsur ekstrinsik sebagai suatu unsur yang kurang penting.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00201607017786352264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5799227774797252935.post-45054107728990985942012-10-30T08:35:00.000-07:002012-10-30T08:35:04.862-07:00profesi<b>Profesi</b> adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris <i>"Profess"</i>, yang dalam bahasa Yunani adalah <i>"Επαγγελια"</i>, yang bermakna: "<b>Janji</b> untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen".<br />
<b>Profesi</b> adalah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pekerjaan" title="Pekerjaan">pekerjaan</a> yang membutuhkan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pelatihan" title="Pelatihan">pelatihan</a> dan penguasaan terhadap suatu <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pengetahuan" title="Pengetahuan">pengetahuan</a> khusus. Suatu profesi biasanya memiliki <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Asosiasi_profesi&action=edit&redlink=1" title="Asosiasi profesi (halaman belum tersedia)">asosiasi profesi</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kode_etik&action=edit&redlink=1" title="Kode etik (halaman belum tersedia)">kode etik</a>, serta proses <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sertifikasi&action=edit&redlink=1" title="Sertifikasi (halaman belum tersedia)">sertifikasi</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Lisensi" title="Lisensi">lisensi</a> yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum" title="Hukum">hukum</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kedokteran" title="Kedokteran">kedokteran</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Keuangan" title="Keuangan">keuangan</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Militer" title="Militer">militer</a>,<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Teknik" title="Teknik">teknikdan</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Desainer" title="Desainer">desainer</a><br />
Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu, disebut <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Profesional" title="Profesional">profesional</a>. Walaupun begitu, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Amatir&action=edit&redlink=1" title="Amatir (halaman belum tersedia)">amatir</a>. Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya, sementara olahraga <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tinju" title="Tinju">tinju</a> sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu profesi.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00201607017786352264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5799227774797252935.post-74443608975083023862012-10-30T07:17:00.001-07:002012-10-30T07:17:00.786-07:00ETIKAPengertian etika menurut para ahli<br />
Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.<br />
Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori
tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan
buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.<br /> <br />
Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara
mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam
hidupnya.<br />
Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:<br />
1.Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan
dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of
good and the nature of the right)<br />
2.Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian
utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect
to a particular class of human actions)<br />
3.Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai
individual. (The science of human character in its ideal state, and
moral principles as of an individual)<br />
4.Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)<div style="background-color: white; border: medium none; color: black; overflow: hidden; text-align: left; text-decoration: none;">
<br />Sumber: <a href="http://id.shvoong.com/social-sciences/2159592-pengertian-dan-definisi-etika-menurut/#ixzz2An9qQkQn" style="color: #003399;">http://id.shvoong.com/social-sciences/2159592-pengertian-dan-definisi-etika-menurut/#ixzz2An9qQkQn</a></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00201607017786352264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5799227774797252935.post-34252668705878862952012-10-23T09:33:00.001-07:002012-10-23T09:33:04.825-07:00KATA - KATA BIJAK<h1 class="title">
Kumpulan Kata-Kata Bijak </h1>
<center>
</center>
<div class="post-content clear-block">
<b>Kata Kata Bijak Mutiara Bagus dan Keren yang telah kami persembahkan untuk anda semua bagi para pembaca setia blog <a href="http://wismaa-saputraa.blogspot.com/">wisma saputra</a>.
Selamat membaca isi postingan kami, karena dengan membaca maka kita
akan menambah wawasan lebih jauh hingga kepelosok dunia. Buatlah
hari-hari kita sebiru postingan terbaik kami Kata Kata Bijak Mutiara
Keren.</b><br /><br /><b>Kata Kata Bijak yang pertama</b><br />Sahabatku yang sering digelisahkan oleh yang tak disukainya, dengarlah ini..<br />Di
jaman dulu, hanya orang-orang yang memiliki kepekaan batin yang tinggi
yang bisa mendengar suara hati dan isi pikiran orang lain.<br />Tapi
karena mereka adalah ahli meditasi dan pengendalian rasa, mereka tidak
terusik mendengar dan mengetahui keaslian pendapat orang lain terhadap
diri mereka.<br />Hari ini, kita dilengkapi dengan televisi, Facebook,
Twitter, Blogs, Google dan banyak search engines, spy cameras dan
microphones, dan banyak media lain yang memungkinkan kita mendengar dan
mengetahui pendapat asli orang lain kepada kita.<br />Kita bisa mendengar
banyak kebaikan - dan mensyukurinya, tapi sangat sulit mendengar
komentar miring tentang kita - dan tetap memelihara kedamaian.<br />Maka, di pagi yang indah ini, marilah kita menjadikan sebagai projek pribadi kita, untuk:<br />MENGABAIKAN CERITA DAN PEMANDANGAN yang tidak baik, dan mensyukuri kata-kata, kejadian, pergaulan yang baik dan membahagiakan.<br />Katakanlah....<br />Tuhanku,
tenagailah ketegasanku hari ini, untuk mengabaikan yang tidak baik dan
mensyukuri yang indah, agar aku hidup dengan damai dalam keluarga dan
pergaulan yang baik.<br />Janganlah kau buat aku tertarik dan berfokus
kepada yang tidak baik, yang tidak mendamaikan, dan yang menggantikan
kebaikan hidupku dengan kekasaran dan kemarahan.<br />Tuhan, pandaikanlah aku mendamaikan hatiku sendiri.<br /><br /><b><a href="http://www.yoedha.com/2012/04/kata-kata-bijak-mutiara-keren.html">Kata Kata Bijak</a> Mutiara Keren yang kedua</b><br />Sesungguhnya, kelemahanmu bukanlah tanda untuk memulai keluhan.<br />Kelemahanmu adalah tanda bahwa engkau harus memalingkan perhatian untuk menemukan kekuatanmu.<br />Dan tahukah engkau apakah pintu memasuki kekuatan dan semua kemungkinanmu?<br />Rasa syukur.<br />Jika
engkau bersyukur atas nikmat Tuhan yang sudah ada padamu, maka engkau
akan cepat bergerak dalam jalur kekuatanmu, yang menjauhkanmu dari
kubangan pengeluhan kelemahan dan kekurangan.<br />Bersyukurlah, agar cahaya kebaikan masa depanmu mulai berpendar dari hal-hal sederhana yang bisa kau lakukan sekarang.<br />Semua kebaikan masa depanmu dimulai dari yang ada bersamamu saat ini.<br />Maka mulailah. Cara terbaik untuk mulai, adalah mulai.<br /><br /><br /><b><a href="http://www.yoedha.com/2012/03/kata-kata-bijak-terbaik-2012.html">Kata Kata Bijak</a> Mutiara yang ketiga</b><br />Orang
yang belum jelas mengenai apa yang akan dicapainya dalam kehidupan dan
pekerjaannya, harus segera menetapkan tujuan hidupnya, dan apa yang akan
dicapai melalui pekerjaannya.<br />Karena, jika Anda menyemangatinya, dia akan menjadi orang bersemangat yang masih tetap bingung.<br />Dan
mungkin tidak ada yang lebih menggalaukan daripada semangat yang
menggebu-gebu pada diri seseorang yang tak jelas tujuan hidupnya.<br />Kejelasan tujuan adalah dasar bagi semua kejelasan hidup.<br /><br /><b>Kata Kata Mutiara Keren yang keempat</b><br />Sahabatku yang terkadang digelisahkan oleh perasaan minder dan terpinggirkan, dengarlah ini...<br />Pribadi sederhana yang kemudian menjadi pribadi yang damai, sejahtera, dan cemerlang,<br />adalah selalu pribadi yang tetap belajar dan bekerja, melalui perasaan minder dan terpinggirkan.<br />Apakah yang lebih manis daripada keberhasilan menerobos ketidak-percayaan dan perendahan dari orang lain?<br />Tuhan
tidak menyiapkanmu untuk menjadi orang kaya - melalui kekayaan, karena
itu akan membuatmu tidak mengerti perasaan dan kekurangan hidup
sesamamu.<br />Tuhan tidak menyiapkanmu untuk menjadi pemimpin - melalui
kemudahan keluarga pembesar, karena itu tidak mendekatkan hatimu dengan
hati rakyat jelata.<br />Maka di pagi yang adalah salah satu anak tangga kenaikan hidup kita, katakanlah ini sebagai kalimatmu sendiri..<br />Tuhanku
Yang Maha Mengetahui, Engkau mengetahui mengapa aku harus melalui
kesulitan dan ujian hati, dan Engkau telah memberitahuku bahwa kebaikan
datang bersama kesulitan.<br />Sehingga tak mungkin kesulitanku datang tanpa kemudahan untukku, dan tak mungkin hatiku di uji tanpa pembahagiaanku nanti.<br />Maka ini yang kuminta dariMu, Tuhanku Yang Maha Pemurah …<br />Besarkanlah
kesungguhanku untuk menjadikan kesulitanku sebagai kekuatanku, dan
indahkanlah hatiku sebagai hasil dari kesabaranku dalam menghadapi ujian
hati ini.<br />Mulailah perjalananku menuju kekayaan yang penuh berkah itu, dengan kesabaran dan kesyukuran.<br />Naikkanlah aku ke tangga kepemimpinan yang amanah itu, dengan kasih sayang dan penghormatan kepada sesama.<br />Tuhan, kayakanlah aku, dan besarkanlah peranku bagi kebaikan hidup sesama.<br /><br /><br /><b><div class="hreview">
Terima kasih telah bersedia membaca postingan terbaru kami <span class="item"><span class="fn">Kata Kata Bijak Mutiara Keren</span></span> di blog sederhana dan kesayangan anda semua <a href="https://twitter.com/wisma_wisma">@wisma_wisma</a></div>
</b></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/00201607017786352264noreply@blogger.com0