Minggu, 25 November 2012

keterbacaan

KETERBAACAAN
Oleh B.P. Sitepu
A. PENDAHULUAN
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penyampaian informasi atau pesan (message) melalui media tulis atau cetak ialah sejauh mana pesan itu dapat ditangkap, dimengerti, dan dipahami oleh pembaca. Hal itu perlu karena pesan yang penting dan bermanfaat akan menjadi sia-sia kalau si penerima pesan atau pembaca tidak dapat menangkap pesan itu dengan baik. Kemampuan membaca dan kemampuan memahami makna bacaan dianggap merupakan persyaratan awal yang perlu dimiliki seseorang untuk dapat menangkap dan memahami pesan yang disampaikan melalui media tulis/cetak. Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana itu. Apabila dilihat kegiatan menulis dan membaca sebagai suatu proses komunikasi, maka tujuan komunikasi sebenarnya tidak hanya sebatas pesan itu sampai dan dipahami oleh pembaca tetapi diharapkan dapat memberikan pengaruh sehingga terjadi perubahan prilaku pembaca (dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak sadar menjadi sadar, atau dari tidak mampu menjadi mampu berbuat). Lebih jauh, Rudolf Flesch (1962) berpendapat bahwa keberhasilan penyampaian pesan ditandai dengan pembaca membacanya lebih cepat, lebih menikmatinya, lebih mengerti, dan mengingatnya lebih lama. Pendapat tersebut selaras dengan prinsip belajar dengan menggunakan bantuan media.
Dalam proses pembelajaran yang menggunakan bahan belajar cetak sebagai sumber belajar utama, di samping pembelajar, keterbacaan (readability) menjadi permasalahan tersendiri. Berdasarkan berbagai penelitian diketahui bahwa pebelajar mendapat dan memahami bahan belajar lebih banyak dari buku dari pada sumber belajar lainnya. Kesimpulan ini cukup beralasan mengingat informasi dalam buku dapat dibaca berulang kali, direnungkan, dibedah, dan didiskusikan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan fungsi buku sebagai sumber informasi, pesan yang disampaikan melalui buku perlu dirancang, disusun dan disajikan dalam bentuk yang tidak saja menarik secara visual tetapi juga mudah dimengerti. Apalagi dalam penyusunan bahan belajar mandiri, seperti modul, keterbacaan bahan belajar menjadi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran oleh karena pebelajar diharapkan dapat memahami bahan belajar tanpa bantuan atau sesedikit mungkin menggunakan bantuan orang lain.
Minat dan kegemaran membaca diperlukan dalam membangun masyarakat belajar. Salah satu hambatan dalam menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca ialah keterbacaan bahan bacaan. Kesulitan memahami bahan bacaan memperlemah dan kadang-kadang mematikan motivasi membaca. Bahan bacaan yang tersedia sulit dipahami dilihat dari bahasa yang dipergunakan dan konsep (isi) yang disampaikan terlalu sukar untuk dipahami sehingga tidak menarik untuk dipelajari. Dengan perkataan lain bahan bacaan tersebut mengandung keterbacaan yang rendah. Akan tetapi tidak jarang terjadi dalam hal yang demikian, kemampuan membaca pebelajarlah dijadikan alasan rendahnya pemahaman. Atau ada kalanya kurangnya pemahaman itu dianggap karena pebelajar kurang atau tidak konsentrasi ketika membaca. Pada hal apabila dikaji lebih lanjut, kelemahan itu terdapat pada keterbacaan dalam buku itu sendiri.
Sebagai ilustrasi, dalam mata kuliah Teori Pengambilan Keputusan di Program Pasca Sarjana UNJ buku Administrative Behaviour yang naskah aslinya ditulis H.A. Simon tahun 1945 dijadikan sebagai salah satu buku rujukan utama. Buku itu telah diterbitkan sampai edisi yang keempat (1976) dengan beberapa penambahan halaman. Halaman-halaman tambahan itu ditulis dalam tahun enampuluhan dan awal tujuh puluhan. Buku itu dipergunakan sebagai salah satu buku wajib untuk mata kuliah itu sejak tahun 1996 di program S3. Ternyata sampai sekarang ini mahasiswa selalu mengeluh karena sukarnya memahami isi buku itu. Pada hal kemampuan membaca mahasiswa Pasca Sarjana sudah barang tentu tidak diragukan lagi, sehingga persoalannya besar kemungkinaan bukan terletak pada kemampuan membaca tetapi pada bahan bacaan itu sendiri. Buku itu menggunakan banyak istilah teknis dalam berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, filsafat, dan administrasi. Banyak penjelasan dan contoh yang diberikan berlaku di Amerika dan asing bagi orang Indonesia. Strukur bahasa yang dipakai cukup rumit. Konsep-konsep disajikan dalam bab-bab yang saling berkaitan sehingga sangat sulit memahami salah satu bab tanpa memahami isi bab sebelumnya.
Contoh yang diberikan tadi adalah buku yang diterbitkan dalam bahasa Inggris dan dipelajari oleh mahasiswa di Indonesia. Kesulitan memahami isi buku dalam bahasa aslinya mendorong mahasiswa membaca terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Semula dengan mempelajari buku terbitan dalam bahasa Indonesia dikira aakan mengatasi kesulitan memahami konsep-konsep dalam buku aslinya (versi bahasa Inggris). Tenyata persoalan kesulitan memahami isi buku itu tidak sepenuhnya terpecahkan dengan membaca versi terbitan dalam bahasa Indonesia. Bahkan bagian-bagian tertentu lebih membingungkan karena terjemahannya tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dalam bahasa aslinya. Nampaknya inti permasalahannya sebenarnya tidak hanya terletak pada bahasa yang digunakan dalam terbitan aslinya tetapi juga isi buku itu mengandung konsep-konsep yang sangat teoritis dan folosofis. Contoh ini menunjukkan bahwa keterbacaan dalam buku itu mencakup keterbacaan dari segi bahasa dan keterbacaan dari segi konsep atau isi buku itu.
Hal yang serupa dengan contoh yang diuraikan tadi dapat terjadi dengan buku-buku pelajaran untuk pendidikan dasar dan menengah. Masalah belajar timbul diakibatkan tingkat keterbacaan yang rendah (karena faktor bahasa dan atau konsep/isi) dalam buku pelajaran sehingga siswa mengalami kesukaran menangkap dan memahami isi bahan belajar itu.
Keterbacaan seharusnya telah diperhatikan oleh penulis ketika menyusun bahan belajar serta oleh editor ketika menyunting naskah itu sebelum diterbitkaan. Guru pun seharusnya telah meneliti keterbacaan bahan belajar sebelum dipergunakan oleh siswa. Akan tetapi tidak jarang masalah keterbacaan tersebut kurang mendapat perhatian atau terabaikan. Kalaupun diperhatikan, mungkin pengukuran keterbacaan dilakukan kurang cermat atau tidak tepat. Sebelum melanjutkan lebih jauh, ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan keterbacaan dalam tulisan ini.
B. KETERBACAAN
Secara semantik, Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan ari keterbacaan sebagai “ perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, dipahami, dan mudah diingat” (hlm. 72). Dari berbagai definisi yang memberikan hakikat keterbacaan (readability) dapat disimpulkan bahwa keterbacaan itu adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kemudahan atau kesulitan memahami suatu bacaan. Keterbacaan berkaitan dengan keadaan tulisan atau cetakan yang jelas, mudah, menarik, dan menyenangkan untuk dibaca sehingga pesan yang disampaikan penulis benar-benar sampai secara tepat kepada pembaca. Dengan demikian, tingkat keterbacaan suatu bahan bacaan diukur dari pihak pembaca. Bacaan yang menurut penulisnya sudah memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi berdasarkan indikator tadi, belum tentu demikian berdasarkan pembacanya. Bahkan dapat terjadi bahwa menurut pembaca, bacaan tersebut tidak menarik, sulit dipahami sehingga membosankan. Tingkat keterbacaan dipengaruhi oleh kosa kata, struktur isi dan kalimat, isi, tipografi, dan ilustrasi yang dipergunakan. Masing-masing komponen ini diukur dan dinilai berdasarkan kriteria atau pandangan pembaca.
Di samping pesan yang harus benar, penulis dan editor naskah bahan belajar cetak diharapkaan menyadari benar pentingnya unsur keterbacaan tersebut dan berusaha agar bahan belajar itu disajikan dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti. Pesan itu akan dibaca dan dipahami apabila mudah dibaca, singkat, serta menjawab semua pertanyaan penting yang dicari pembaca. Untuk itu Rothwell dan Kazanaz (1992) menyarankan kepada penulis bahan belajar agar membuat bahan belajar itu mudah dibaca dilihat dari kemampuan pembaca.
Keterbacaan sering diartikan kemudahan untuk memahami bahan bacaan. Oleh karena itu sebagai indikator yang sering dipakai ialah panjangya kalimat atau jumlah kata dalam kalimat, jumlah kata-kata sulit/asing, panjangnya kata atau jumlah kata bersuku jamak (multisyllabic), struktur kalimat seperti kalimat tunggal dan majemuk, serta kalimat aktif dan pasif. Kadang-kadang tingkat keterbacaan suatu bahan bacaan didasarkan atas pengalaman. Guru yang berpengalaman membelajarkan siswa di kelas tiga SD misalnya, dapat mengetahui secara tepat tingkat keterbacaan suatu bacaan bagi siswa kelas tiga SD, walaupun pendapatnya itu sudah barang tentu tidak dapat diberlakukan secara umum.
C. FORMULA KETERBACAAN
Pentingnya keterbacaan dalam bahan belajar cetak disadari sungguh-sungguh khususnya oleh Departemen Pendidikan Nasional sejak diberlakukannya penilaian buku pelajaran untuk dipakai di pendidikan dasar dan menengah. Buku yang dinilai itu digolongkan ke buku teks pelengkap, buku bacaan, atau buku sumber. Jadi buku pelajaran pokok/teks utama belum termasuk di dalamnya. Di samping kebenaran isi, metodologi pembelajaran, grafika, dan keamanan , aspek bahasa dijadikan sebagai kriteria yang ikut menentukan dapat tidaknya buku itu dipakai sebagai sumber belajar. Dalam aspek bahasa ini terlihat adanya unsur keterbacaan yang dirumuskan dalam bentuk kosa kata, struktur kalimat, ejaan dan kaidah-kaidah bahasa lainnya.
Dalam penyusunan dan pengembangan naskah buku pelajaran pokok/teks utama yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, keterbacaan naskah buku diuji melalui proses uju coba. Setelah mempelajari naskah bahan belajar itu, siswa diberikan kuesioner untuk mengetahui apakah siswa menemukan kesulitan dalam memahami bahan belajar itu dilihat dari kata-kata, kalimat, dan paragraf yang dipakai. Namun bahan bacaan itu tidak diujikan secara langsung kepada siswa sehingga data yang diperoleh bukan data objektif hasil pengukuran tetapi data subjektif berdasarkan pendapat siswa. Untuk melengkapi data dari siswa itu, diminta pendapat guru yang mengajarkan bidang studi di kelas yang bersangkutan. Data dari guru ini pun tergolong data subjektif sungguhpun dapat digolongkan sebagai penilaian dari ahli (expert judgement).
Hasil uji keterbacaan seperti yang dilakukan itu memberikan masukan kepada penulis dan editor dalam menyempurnakan naskah buku itu. Akan tetapi masukan itu dianggap masih memiliki kelemahan. Pertama, data yang diperoleh bukan data primer hasil pengukuran yang objektif. Kedua, keanekaragaman kemampuan membaca serta latar belakang budaya siswa, sampel yang dipergunakan dalam uji keterbacaan itu tidak dapat mewakili semua siswa di seluruh Indonesia. Akibatnya, setelah naskah buku diperbaiki dan diterbitkan serta disalurkan ke sekolah masih terdapat saja alasan kurang atau tidak dipakainya buku yang disediakan Pemerintah karena bahasanya berbelit-belit, kata-kata sukar, dan lain sebagainya. Alasan itu menunjukkan bahwa bacaan dalam buku itu tidak mudah dimengerti atau dengan perkataan lain tingkat keterbacaannya belum sesuai dengan kemampuan membaca siswa yang menggunakan bukku itu.
Dalam penilaian buku terbitan swasta untuk dipakai sebagai buku pelajaran pokok/utama di SLTP, Pusat Perbukuan menetapkan kriteria bahasa terpisah dari kriteria keterbacaan secara khusus. Kriteria bahasa menilai penggunaan bahasa dalam penyampaian materi dengan indikator kaidah bahasa, kesesuaian dengan tingkat pendidikan, dan ketepatan istilah. Sedangkan kriteria keterbacaan menilai tingkat kemudahan keterbacaan naskah, yang terdiri atas, struktur kalimat, panjang kalimat, dan kelugasan. (Kadarsah Suryadi dkk, 2000). Sungguhpun indikator ini diberikan penjelasan, dalam penggunaannya belum begitu operasional sehingga unsur subjektivitas belum dapat sepenuhnya dihindarkan. Di lain pihak indikator yang dipergunakan untuk menilai aspek bahasa itu pada hakikatnya juga merupakan indikator untuk menilai keterbacaan
Di samping melalui perkiraan yang bersifat subjektif (subjective judgement) dan uji coba kepada sasaran tertentu, keterbacaan dapat diukur dengan menggunakan sejumlah formula (rumus) keterbacaan seperti, The Dale-Chall Formula, The Fry Readibility Graph, Reading Ease Formula, Flesch Reading Ease/Plesch-Kincaid Grade Level Tools, SMOG Test, Cloze Test dan Fog Index. Semua formula tersebut dipergunakan sebagai alat untuk mengukur dan mengetahui tingkat kesulitan memahami suatu bahan bacaan. Masing-masing formula memiliki keunggulan dan kelemahan. Berikut ini akan diberikan gambaran tentang SMOG Grading, Cloze Test dan Fog Index.
1. Flesch Reading Ease/Plesch-Kincaid Grade Level Tools
Pengukuran keterbacaan dengan menggunakan alat ini dapat dilakukan dengan menggunakan Microsoft Word (MS) dalam komputer. Naskah wacana dimasukkan dalam MS. Sesudah naskah dibuka, pilih dan klik tombol Tool pada menu layar Microsoft Word. Sesudah menu Tool dibuka, pilih dan klik tombol Grammar. Printah ini akan menyuruh MS membaca dan memeriksa ejaan dan tata bahasa dalam naskah wacana itu. Apabila ditemukan kesalahan atau hal-hal yang kurang lazim, MS akan menawarkan beberapa alternatif pilihan. Sesudah MS melakukan pemeriksaan ejaan dan tata kalimat, pada layar komputer akan diperlihatkan statistik dalam tiga kategori: Counts, Averages, dan Readability. Cari pada Readability untuk data keterbacaan dengan istilah Flesch Reading Ease (kemudahan membaca) dan Flesch-Kincaid Grade Level (tingkat pembaca). Angka Flesch Reading Ease seharusnya 60 atau lebih agar sesuai untuk pembaca tingkat 8 (kelas 2 SLTP). Atau untuk kesesuaian tingkat pembaca ini dapat juga dilihat pada Flesch-Kincaid Grade Level. Masalah dalam penggunaan cara ini ialah bahwa MS belum membuat program untuk semua bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Dengan demikian cara ini dapat dipakai untuk wacana dengan bahasa yang sudah ada dalam kamus MS.
2. SMOG Test
Test SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) adalah cara lain yang cepat, mudah, dan konsisten dalam menentukan tingkat keterbacaan. Akan tetapi cara ini dianggap kurang sesuai untuk pembaca di bawah kelas enam.
Cara menggunakan test ini ialah sebagai berikut.
a. Pilih tiga sample dari 10 kalimat yang berurutan dari bagian-bagian yang berbeda dalam keseluruhan bahan wacana, sehingga jumlah secara keseluruhan paling sedikit 100 kata.
b. Hitung jumlah kata yang terdiri atas tiga suku kata atau lebih dalam 30 kalimat.
c. Hitung hasil akar dari jumlah kata itu (b).
d. Tambahkan 3 dan hasilnya adalah tingkat pembaca yang sesuai.
Contoh:
a. Jumlah kata yang terdiri atas 3 suku kata atau lebih adalah 64.
b. Hasil akar dari 64 adalah 8
c. 8 + 3 = 11. Jadi tingkat pembaca yang sesuai adalah kelas 2 SLTA.
3. Cloze Test.
Cloze test, yang diperkenalkan oleh Wilson L. Taylor pada tahun 1953, adalah sejenis test dalam bentuk wacana dengan sejumlah kata yang dikosongkan (rumpang) dan pengisi test diminta mengisi kata-kata yang sesuai di tempat yang dikosongkan itu. (Hornby, 2000). Kata “cloze” itu bermakna proses penutupan sementara (Oller, 1979). Disebut dengan penutupan sementara karena sejumlah kata dalam wacana itu dihilangkan atau ditutup secara sistematis untuk diisi dengan cara menerka berdasarkan konteks isi wacana itu. Kebenaran isi jawaban akan dilihat dari nakah asli wacana tersebut. Ada tiga cara menghilangkan kata tersebut:
a. Menghilangkan kata pada urutan tertentu secara konsisten, tanpa membedakan jenis kata. Cara ini disebut the fixed-ratio method . Misalnya, apabila dipilih kata yang dihilangkan itu adalah kata yang ke-5, maka setiap kata yang kelima (apakah kata asing, nama diri, akronim, atau singkatan) dihilangkan secara konsisten. Cara ini biasanya dipakai apabila kata-kata dalam wacana itu dianggap sudah biasa bagi pengisi test.
b. Menghilangkan kata pada urutan tertentu dengan ketentuan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pembuat test. Misalnya, kata itu akan dihilangkan apabila termasuk kata benda atau kata kerja, atau jenis kata lain yang ditentukan oleh pembuat test. Cara ini disebut the variables-fixed ratio. Cara ini biasanya dipakai apabila pembuat test ingin mengetahui tingkat kesulitan kata-kata yang tergolong ke dalam jenis-jenis kata yang ditetapkannya.
c. Menghilangkan kata pada urutan tertentu secara sistematis tetapi apa bila kata pada urutan tertentu itu adalah nama tempat, nama diri, angka, tanggal, bulan, tahun atau istilah, maka kata itu dilampaui dan dipilih kata berikutnya. Hal ini dilakukan karena kata-kata itu sulit diterka atas dasar konteks kalimat. Cara ini disebut the modified fixed-ratio method. Cara ini banyak dipakai untuk wacana yang mengandung banyak istilah atau nama diri.
Cloze test yang kemudian juga dipakai untuk menguji pemahaman membaca (reading comprehension), pada awalnya dibuat untuk menguji keterbacaan . (Heaton, 1975). Melalui test ini dapat diketahui kesulitan calon pengguna dalam mengisi kata-kata yang dikosongkan (rumpang) secara teratur dalam suatu uraian. Semakin dekat jarak kata yang dikosongkan, mungkin semakin sulit mengerjakan soal itu dan sebaliknya. Kata yang dibuang (dikosongkan) itu biasanya setiap kata yang kelima atau yang ketujuh. Karena kata yang dipilih mungkin saja kata yang maknanya sama (sinonim) dengan kata aslinya, maka sinonim kata itu dapat juga dianggap benar. Akan tetapi apabila diharapkan kata yang diisikan adalah kata yang persis sama dengan kata aslinya (kata yang dibuang) maka huruf awal kata itu dituliskan dan huruf-huruf berikutnya dikosongkan. Semakin sedikit kesalahan yang dibuat oleh pengisi test, berarti semakin tinggi tingkat keterbacaan naskah tersebut dan sebaliknya, semakin banyak kesalahan yang dibuat berarti semakin rendah tingkat keterbacaannya.
Prosedur yang ditempuh dalam menggunakan test ini ialah sebagai berikut:
1. Pilihlah tiga buah uraian dalam naskah atau buku tersebut secara acak, masing-masing pada bagian awal, tengah dan akhir. Uraian yang dipilih hendaknya berdiri sendiri dan utuh dalam arti mempunyai satu konsep atau ide. Panjang uraian kurang lebih 250 kata.
2. Uraian yang dipilih hendaknya menarik bagi calon pengguna.
3. Hindari uraian yang banyak menggunakan nama diri, seperti nama orang dan nama tempat.
4. Salin kembali masing-masing uraian tersebut dengan ketentuan:
a. Berikan judul untuk masing-masing uraian untuk memberikan gambaran umum tentang isi uraian,
b. Tulis kembali kalimat pertama masing-masing uraian secara utuh untuk memberikan gambaran isi uraian lebih spesifik.
c. Untuk kalimat-kalimat berikutnya, buang setiap kata ke lima atau kata ketujuh secara teratur. Kata berulang dihitung dua kata. Kalau pembaca diharapkan mengisi kata yang dikosongkan itu tepat seperti kata aslinya , tuliskan huruf awal kata itu dan diikuti dengan strip sebanyak sisa huruf kata tersebut ( misalnya, kata yang dibuang ialah warung, maka ditulis
w_ _ _ _ _.)
d. Tuliskan kalimat terakhir masing-masing uraian secara utuh untuk memberikan gambaran tentang isi uraian secara lebih lengkap.
5. Pilih secara acak sesedikitnya sepuluh calon pengguna naskah tersebut untuk mengerjakan test itu.
6. Berikan petunjuk yang jelas, termasuk tujuan diberikannya test bahwa yang ingin diketahui bukanlah kemampuan membaca mereka tetapi tingkat keterbacaan naskah itu sendiri. Kata yang dikosongkan diisi hanya dengan satu kata yang dianggap paling sesuai dengan maksud kalimat dan uraian,
Tingkat kesulitan keseluruhan naskah dapat dilihat dari jumlah kata yang benar diisikan pada test itu. Hasil dengan menggunakan Cloze Test ini dapat dikategorikan sebagai berikut.
Jumlah kata yang benar Tingkat kesulitan
a. > 50 % “Mudah” dalam arti pembaca mengerti isi bacaan.
b. >35% – 50% “Agak Sukar” dalam arti pembaca memerlukan bantuan untuk mengerti isi bacaan
c. <35 % – 35 % “Sangat Sukar”, dalam arti pembaca tidak dapat memahami isi bacaan.
Hasil test tersebut dapat dilihat secara individual dan kelompok. Dapat terjadi hasil masing-masing individu secara signifikan berbeda karena latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Dengan demikian, mungkin saja suatu bahan bacaan sangat sulit bagi orang tertentu tetapi sangat mudah bagi orang lain dalam kelompok yang sama. Akan tetapi dalam kaitannya dengan bahan bacaan yang dipergunakan dalam kelas maka hasil rata-rata dalam kelompok biasanya yang digunakan.
4. Fog Index
Kalau Cloze Test dipergunakan dengan mengujikan bahan bacaan itu kepada calon penggunanya, Fog Index dipergunakan oleh penulis, editor atau guru sendiri, tanpa ketergantungan kepada orang lain. Fog Index dipergunakan dengan mengidentifikasi kata-kata sulit dalam suatu uraian. Dalam bahasa Inggris kata-kata sulit itu dianggap antara lain ialah kata yang dalam mengucapkannya terdiri atas lebih dari satu suku kata.
Prosedur yang ditempuh dalam menggunakan Fog Index adalah sebagai berikut,
1. Pilihlah tiga jenis uraian dalam naskah atau buku itu secara acak yang terdiri atas masing-masing pada bagian awal, tengah, dan akhir.
2. Untuk masing-masing uraian, hitunglah 100 kata mulai dari awal uraian. Berikan tanda pada kata yang keseratus itu dengan ketentuan:
a. Kata berulang dihitung dua kata.
b. Kata yang digunakan lebih dari satu kali dihitung satu kata.
c. Kata singkatan dan angka (lebih dari satu angka seperti 5000) dihitung satu kata.
3. Hitunglah rata-rata panjang kalimat yang lengkap dalam uraian itu dengan cara:
a. Carilah tanda titik terakhir (sebagai tanda akhir kalimat) sebelum kata yang keseratus tersebut. Hitung dari awal uraian berapa kalimat yang sempurna sampai titik terakhir sebelum kata yang keseratus itu.
b. Hitung jumlah kata dari titik terakhir sampai dengan kata yang keseratus itu. Kemudian jumlah kata itu diergunakan sebagai angka pengurang dari 100 kata, maka akan diperoleh jumlah kata dalam kalimat lengkap yang terdapat sampai pada kata yang keseratus itu.
c. Bagilah hasil pengurangan itu dengan jumlah kalimat lengkap (sampai kata yang keseratus) maka diperoleh jumlah rata-rata kata dalam kalimat lengkap.
4. Carilah kata-kata yang berjumlah dua suku kata atau lebih sampai kata yang keseratus dan hitung berapa jumlahnya Kata-kata yang demikian dianggap kata-kata sukar.
5. Kemudian dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
2(RPK + KS)
—————– + 5
5
RPK = Rata-rata Panjang Kalimat
KS = Kata-kata sukar
6. Hasil perhitungan dapat dikategorikan sebagai berikut
Hasil Kategori
a. 12 – 20 Sukar
D. PENGGUNAAN CLOZE TEST DAN FOG INDEX.
Uji keterbacaan dengan menggunakan teknik atau formula yang manapun bermanfaat untuk penulis, editor dan guru. Dengan mengetahui tingkat keterbacaan naskah yang ditulisnya, penulis dapat menyempurnakan nasakah tersbut dari aspek struktur atau pilihan kata. Demikian juga dalam proses penyuntingan, hasil uji keterbacaan membantu editor dalam menyunting naskah sehingga dapat dipahami secara baik oleh pembaca sasaran. Hasil uji keterbacaan membantu guru dalam memilih buku sebagai sumber belajar dalam suatu bidang studi serta dapat pula membantunya dalam memberikan penjelasan pokok-pokok bahasan dalam buku itu.
Cloze Test dan Fog Index yang dibicarakan dalam tulisan ini bukanlah teknik dan formula yang terbaik dari sekian banyak teknik dan formula yang ada. Kedua cara ini dikemukakan hanya karena dianggap lebih praktis, lebih cepat, dan lebih mudah untuk digunakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kata-kata sulit bukanlah semata-mata ukuran untuk menentukan tingkat kesulitan bahan bacaan. Jenis dan ukuran huruf, mutu tulisan atau cetakan, serta tata letak dapat saja mempengaruhi keterbacaan. Panjangnya dan struktur kalimat serta latar belakang atau karakteristik pembaca juga mempengaruhi tingkat keterbacaan, sungguhpun hal yang belakangan ini disebut cenderung dianggap lebih mempengaruhi kemampuan membaca daripada keterbacaan suatu bahan bacaan. Masing-masing bidang studi memiliki ciri khas sehingga cara menguji keterbacaannya juga perlu berbeda. Misalnya, cara menguji keterbacaan naskah matematika dan naskah sejarah tentu saja berbeda. Hasil uji keterbacaan juga dianggap sulit digeneralisasikan untuk calon pembaca sasaran yang sifatnya heterogen apalagi kalau sangat heterogen. Kenyataan ini ikut mendorong penerapan kebijakan lokal atau kebijakan berbasis sekolah
Cloze Test diujikan kepada calon pembaca sasaran. Oleh karena itu diharapkan dapat memberikan gambaran yang tepat tentang tingkat keterbacaan naskah itu. Pemilihan sample tentu sangat menentukan ketepatan hasil test untuk keperluan generalisasi. Test ini memerlukan banyak waktu dan juga biaya kalau dilakukan dalam ruang lingkup wilayah atau nasional, apalagi kalau populasinya sangat heterogen. Kalau kurang penjelasan tentang test ini, pengisi test dapat mengira test ini adalah untuk menguji kemampua dan pemahamannya dalam membaca, sehingga ia memberikan sikap yang berbeda dan dapat mengurangi objektivitas test dilihat dari tujuannya. . Hendaknya tetap diingat bahwa dalam menggunakan Cloze Test yang diuji adalah keterbacaan naskah bukan kemampuan membaca.
Awalnya Fog Index dipergunakan untuk menguji keterbacaan dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa tersebut panjang kata dianggap ikut menentukan kesulitan kata itu. Asumsi tersebut belum tentu sepenuhnya benar. Dapat saja kata itu hanya terdiri dari satu suku kata tapi asing bagi pembaca sehingga dianggap sukar. Kesukaran suatu kata juga ditentukan oleh frekwensi kata itu dipergunakan oleh pembaca. Pendapat ini juga berlaku untuk semua bahasa. Oleh karena itu Balitbangdikbud pernah mencoba mengidentifikasi kata-kata yang perlu dipelajari oleh siswa di masing-masing kelas di SD berdasarkan frekwensi penggunaan kata tersebut. Sayangnya hasil penelitiam itu kurang disosialisasikan.
Penulis pernah mencoba melihat tingkat keterbacaan suatu naskah dengan menggunakan Cloze Test dan Fog Index untuk dua kelompok mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta dalam waktu yang berbeda (tahun 2002 dan 2003). Bahan yang diujikan adalah naskah yang sama; hanya bentuknya disesuaikan dengan persyaratan Cloze Test dan Fog Index. Hasil dari kedua kelompok itu ternyata sama. Baik berdasarkan Cloze Test maupun Fog Index , naskah yang diuji itu tergolong agak sukar dipahami.
Pengalaman yang kecil itu menunjukkan bahwa untuk menguji keterbacaan suatu naskah ada baiknya menggunakan tidak hanya satu jenis cara saja tetapi ada baiknya dibandingkan dengan cara lain. Kalau Cloze Test memerlukan banyak biaya dan waktu, Fog Index nampaknya lebih hemat karena dapat dilakukan oleh penulis, atau editor, atau guru sendiri tanpa bantuan orang lain.
Hasil test keterbacaan tidak hanya bermanfaat bagi penulis dalam memperbaiki naskahnya, namun juga dapat bermanfaat bagi guru dalam memprediksi konsep-konsep yang sukar bagi siswanya. Dengan demikian guru dapat memberikan penjelasan yang lebih rinci untuk konsep-konsep tersebut sehingga siswa dapat memahami keseluruhan materi pelajaran lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Hornby, A.S. (2000). Oxford advanced learner’s dictionary of current English. London: Oxfprd University Press
Oller, J.W. (1979). Language tests at school. London: Longman Group Ltd.
Alderson, J.C. (2000). Assessing reading. Cambridge: Cambridge University Press.
Morrison, G.R., Ross, S.M., & Kemp, J.E. (2001). Designing effective instruction. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar