Minggu, 25 November 2012

keterbacaan

KETERBAACAAN
Oleh B.P. Sitepu
A. PENDAHULUAN
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penyampaian informasi atau pesan (message) melalui media tulis atau cetak ialah sejauh mana pesan itu dapat ditangkap, dimengerti, dan dipahami oleh pembaca. Hal itu perlu karena pesan yang penting dan bermanfaat akan menjadi sia-sia kalau si penerima pesan atau pembaca tidak dapat menangkap pesan itu dengan baik. Kemampuan membaca dan kemampuan memahami makna bacaan dianggap merupakan persyaratan awal yang perlu dimiliki seseorang untuk dapat menangkap dan memahami pesan yang disampaikan melalui media tulis/cetak. Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana itu. Apabila dilihat kegiatan menulis dan membaca sebagai suatu proses komunikasi, maka tujuan komunikasi sebenarnya tidak hanya sebatas pesan itu sampai dan dipahami oleh pembaca tetapi diharapkan dapat memberikan pengaruh sehingga terjadi perubahan prilaku pembaca (dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak sadar menjadi sadar, atau dari tidak mampu menjadi mampu berbuat). Lebih jauh, Rudolf Flesch (1962) berpendapat bahwa keberhasilan penyampaian pesan ditandai dengan pembaca membacanya lebih cepat, lebih menikmatinya, lebih mengerti, dan mengingatnya lebih lama. Pendapat tersebut selaras dengan prinsip belajar dengan menggunakan bantuan media.
Dalam proses pembelajaran yang menggunakan bahan belajar cetak sebagai sumber belajar utama, di samping pembelajar, keterbacaan (readability) menjadi permasalahan tersendiri. Berdasarkan berbagai penelitian diketahui bahwa pebelajar mendapat dan memahami bahan belajar lebih banyak dari buku dari pada sumber belajar lainnya. Kesimpulan ini cukup beralasan mengingat informasi dalam buku dapat dibaca berulang kali, direnungkan, dibedah, dan didiskusikan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan fungsi buku sebagai sumber informasi, pesan yang disampaikan melalui buku perlu dirancang, disusun dan disajikan dalam bentuk yang tidak saja menarik secara visual tetapi juga mudah dimengerti. Apalagi dalam penyusunan bahan belajar mandiri, seperti modul, keterbacaan bahan belajar menjadi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran oleh karena pebelajar diharapkan dapat memahami bahan belajar tanpa bantuan atau sesedikit mungkin menggunakan bantuan orang lain.
Minat dan kegemaran membaca diperlukan dalam membangun masyarakat belajar. Salah satu hambatan dalam menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca ialah keterbacaan bahan bacaan. Kesulitan memahami bahan bacaan memperlemah dan kadang-kadang mematikan motivasi membaca. Bahan bacaan yang tersedia sulit dipahami dilihat dari bahasa yang dipergunakan dan konsep (isi) yang disampaikan terlalu sukar untuk dipahami sehingga tidak menarik untuk dipelajari. Dengan perkataan lain bahan bacaan tersebut mengandung keterbacaan yang rendah. Akan tetapi tidak jarang terjadi dalam hal yang demikian, kemampuan membaca pebelajarlah dijadikan alasan rendahnya pemahaman. Atau ada kalanya kurangnya pemahaman itu dianggap karena pebelajar kurang atau tidak konsentrasi ketika membaca. Pada hal apabila dikaji lebih lanjut, kelemahan itu terdapat pada keterbacaan dalam buku itu sendiri.
Sebagai ilustrasi, dalam mata kuliah Teori Pengambilan Keputusan di Program Pasca Sarjana UNJ buku Administrative Behaviour yang naskah aslinya ditulis H.A. Simon tahun 1945 dijadikan sebagai salah satu buku rujukan utama. Buku itu telah diterbitkan sampai edisi yang keempat (1976) dengan beberapa penambahan halaman. Halaman-halaman tambahan itu ditulis dalam tahun enampuluhan dan awal tujuh puluhan. Buku itu dipergunakan sebagai salah satu buku wajib untuk mata kuliah itu sejak tahun 1996 di program S3. Ternyata sampai sekarang ini mahasiswa selalu mengeluh karena sukarnya memahami isi buku itu. Pada hal kemampuan membaca mahasiswa Pasca Sarjana sudah barang tentu tidak diragukan lagi, sehingga persoalannya besar kemungkinaan bukan terletak pada kemampuan membaca tetapi pada bahan bacaan itu sendiri. Buku itu menggunakan banyak istilah teknis dalam berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, filsafat, dan administrasi. Banyak penjelasan dan contoh yang diberikan berlaku di Amerika dan asing bagi orang Indonesia. Strukur bahasa yang dipakai cukup rumit. Konsep-konsep disajikan dalam bab-bab yang saling berkaitan sehingga sangat sulit memahami salah satu bab tanpa memahami isi bab sebelumnya.
Contoh yang diberikan tadi adalah buku yang diterbitkan dalam bahasa Inggris dan dipelajari oleh mahasiswa di Indonesia. Kesulitan memahami isi buku dalam bahasa aslinya mendorong mahasiswa membaca terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Semula dengan mempelajari buku terbitan dalam bahasa Indonesia dikira aakan mengatasi kesulitan memahami konsep-konsep dalam buku aslinya (versi bahasa Inggris). Tenyata persoalan kesulitan memahami isi buku itu tidak sepenuhnya terpecahkan dengan membaca versi terbitan dalam bahasa Indonesia. Bahkan bagian-bagian tertentu lebih membingungkan karena terjemahannya tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dalam bahasa aslinya. Nampaknya inti permasalahannya sebenarnya tidak hanya terletak pada bahasa yang digunakan dalam terbitan aslinya tetapi juga isi buku itu mengandung konsep-konsep yang sangat teoritis dan folosofis. Contoh ini menunjukkan bahwa keterbacaan dalam buku itu mencakup keterbacaan dari segi bahasa dan keterbacaan dari segi konsep atau isi buku itu.
Hal yang serupa dengan contoh yang diuraikan tadi dapat terjadi dengan buku-buku pelajaran untuk pendidikan dasar dan menengah. Masalah belajar timbul diakibatkan tingkat keterbacaan yang rendah (karena faktor bahasa dan atau konsep/isi) dalam buku pelajaran sehingga siswa mengalami kesukaran menangkap dan memahami isi bahan belajar itu.
Keterbacaan seharusnya telah diperhatikan oleh penulis ketika menyusun bahan belajar serta oleh editor ketika menyunting naskah itu sebelum diterbitkaan. Guru pun seharusnya telah meneliti keterbacaan bahan belajar sebelum dipergunakan oleh siswa. Akan tetapi tidak jarang masalah keterbacaan tersebut kurang mendapat perhatian atau terabaikan. Kalaupun diperhatikan, mungkin pengukuran keterbacaan dilakukan kurang cermat atau tidak tepat. Sebelum melanjutkan lebih jauh, ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan keterbacaan dalam tulisan ini.
B. KETERBACAAN
Secara semantik, Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan ari keterbacaan sebagai “ perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, dipahami, dan mudah diingat” (hlm. 72). Dari berbagai definisi yang memberikan hakikat keterbacaan (readability) dapat disimpulkan bahwa keterbacaan itu adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kemudahan atau kesulitan memahami suatu bacaan. Keterbacaan berkaitan dengan keadaan tulisan atau cetakan yang jelas, mudah, menarik, dan menyenangkan untuk dibaca sehingga pesan yang disampaikan penulis benar-benar sampai secara tepat kepada pembaca. Dengan demikian, tingkat keterbacaan suatu bahan bacaan diukur dari pihak pembaca. Bacaan yang menurut penulisnya sudah memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi berdasarkan indikator tadi, belum tentu demikian berdasarkan pembacanya. Bahkan dapat terjadi bahwa menurut pembaca, bacaan tersebut tidak menarik, sulit dipahami sehingga membosankan. Tingkat keterbacaan dipengaruhi oleh kosa kata, struktur isi dan kalimat, isi, tipografi, dan ilustrasi yang dipergunakan. Masing-masing komponen ini diukur dan dinilai berdasarkan kriteria atau pandangan pembaca.
Di samping pesan yang harus benar, penulis dan editor naskah bahan belajar cetak diharapkaan menyadari benar pentingnya unsur keterbacaan tersebut dan berusaha agar bahan belajar itu disajikan dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti. Pesan itu akan dibaca dan dipahami apabila mudah dibaca, singkat, serta menjawab semua pertanyaan penting yang dicari pembaca. Untuk itu Rothwell dan Kazanaz (1992) menyarankan kepada penulis bahan belajar agar membuat bahan belajar itu mudah dibaca dilihat dari kemampuan pembaca.
Keterbacaan sering diartikan kemudahan untuk memahami bahan bacaan. Oleh karena itu sebagai indikator yang sering dipakai ialah panjangya kalimat atau jumlah kata dalam kalimat, jumlah kata-kata sulit/asing, panjangnya kata atau jumlah kata bersuku jamak (multisyllabic), struktur kalimat seperti kalimat tunggal dan majemuk, serta kalimat aktif dan pasif. Kadang-kadang tingkat keterbacaan suatu bahan bacaan didasarkan atas pengalaman. Guru yang berpengalaman membelajarkan siswa di kelas tiga SD misalnya, dapat mengetahui secara tepat tingkat keterbacaan suatu bacaan bagi siswa kelas tiga SD, walaupun pendapatnya itu sudah barang tentu tidak dapat diberlakukan secara umum.
C. FORMULA KETERBACAAN
Pentingnya keterbacaan dalam bahan belajar cetak disadari sungguh-sungguh khususnya oleh Departemen Pendidikan Nasional sejak diberlakukannya penilaian buku pelajaran untuk dipakai di pendidikan dasar dan menengah. Buku yang dinilai itu digolongkan ke buku teks pelengkap, buku bacaan, atau buku sumber. Jadi buku pelajaran pokok/teks utama belum termasuk di dalamnya. Di samping kebenaran isi, metodologi pembelajaran, grafika, dan keamanan , aspek bahasa dijadikan sebagai kriteria yang ikut menentukan dapat tidaknya buku itu dipakai sebagai sumber belajar. Dalam aspek bahasa ini terlihat adanya unsur keterbacaan yang dirumuskan dalam bentuk kosa kata, struktur kalimat, ejaan dan kaidah-kaidah bahasa lainnya.
Dalam penyusunan dan pengembangan naskah buku pelajaran pokok/teks utama yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, keterbacaan naskah buku diuji melalui proses uju coba. Setelah mempelajari naskah bahan belajar itu, siswa diberikan kuesioner untuk mengetahui apakah siswa menemukan kesulitan dalam memahami bahan belajar itu dilihat dari kata-kata, kalimat, dan paragraf yang dipakai. Namun bahan bacaan itu tidak diujikan secara langsung kepada siswa sehingga data yang diperoleh bukan data objektif hasil pengukuran tetapi data subjektif berdasarkan pendapat siswa. Untuk melengkapi data dari siswa itu, diminta pendapat guru yang mengajarkan bidang studi di kelas yang bersangkutan. Data dari guru ini pun tergolong data subjektif sungguhpun dapat digolongkan sebagai penilaian dari ahli (expert judgement).
Hasil uji keterbacaan seperti yang dilakukan itu memberikan masukan kepada penulis dan editor dalam menyempurnakan naskah buku itu. Akan tetapi masukan itu dianggap masih memiliki kelemahan. Pertama, data yang diperoleh bukan data primer hasil pengukuran yang objektif. Kedua, keanekaragaman kemampuan membaca serta latar belakang budaya siswa, sampel yang dipergunakan dalam uji keterbacaan itu tidak dapat mewakili semua siswa di seluruh Indonesia. Akibatnya, setelah naskah buku diperbaiki dan diterbitkan serta disalurkan ke sekolah masih terdapat saja alasan kurang atau tidak dipakainya buku yang disediakan Pemerintah karena bahasanya berbelit-belit, kata-kata sukar, dan lain sebagainya. Alasan itu menunjukkan bahwa bacaan dalam buku itu tidak mudah dimengerti atau dengan perkataan lain tingkat keterbacaannya belum sesuai dengan kemampuan membaca siswa yang menggunakan bukku itu.
Dalam penilaian buku terbitan swasta untuk dipakai sebagai buku pelajaran pokok/utama di SLTP, Pusat Perbukuan menetapkan kriteria bahasa terpisah dari kriteria keterbacaan secara khusus. Kriteria bahasa menilai penggunaan bahasa dalam penyampaian materi dengan indikator kaidah bahasa, kesesuaian dengan tingkat pendidikan, dan ketepatan istilah. Sedangkan kriteria keterbacaan menilai tingkat kemudahan keterbacaan naskah, yang terdiri atas, struktur kalimat, panjang kalimat, dan kelugasan. (Kadarsah Suryadi dkk, 2000). Sungguhpun indikator ini diberikan penjelasan, dalam penggunaannya belum begitu operasional sehingga unsur subjektivitas belum dapat sepenuhnya dihindarkan. Di lain pihak indikator yang dipergunakan untuk menilai aspek bahasa itu pada hakikatnya juga merupakan indikator untuk menilai keterbacaan
Di samping melalui perkiraan yang bersifat subjektif (subjective judgement) dan uji coba kepada sasaran tertentu, keterbacaan dapat diukur dengan menggunakan sejumlah formula (rumus) keterbacaan seperti, The Dale-Chall Formula, The Fry Readibility Graph, Reading Ease Formula, Flesch Reading Ease/Plesch-Kincaid Grade Level Tools, SMOG Test, Cloze Test dan Fog Index. Semua formula tersebut dipergunakan sebagai alat untuk mengukur dan mengetahui tingkat kesulitan memahami suatu bahan bacaan. Masing-masing formula memiliki keunggulan dan kelemahan. Berikut ini akan diberikan gambaran tentang SMOG Grading, Cloze Test dan Fog Index.
1. Flesch Reading Ease/Plesch-Kincaid Grade Level Tools
Pengukuran keterbacaan dengan menggunakan alat ini dapat dilakukan dengan menggunakan Microsoft Word (MS) dalam komputer. Naskah wacana dimasukkan dalam MS. Sesudah naskah dibuka, pilih dan klik tombol Tool pada menu layar Microsoft Word. Sesudah menu Tool dibuka, pilih dan klik tombol Grammar. Printah ini akan menyuruh MS membaca dan memeriksa ejaan dan tata bahasa dalam naskah wacana itu. Apabila ditemukan kesalahan atau hal-hal yang kurang lazim, MS akan menawarkan beberapa alternatif pilihan. Sesudah MS melakukan pemeriksaan ejaan dan tata kalimat, pada layar komputer akan diperlihatkan statistik dalam tiga kategori: Counts, Averages, dan Readability. Cari pada Readability untuk data keterbacaan dengan istilah Flesch Reading Ease (kemudahan membaca) dan Flesch-Kincaid Grade Level (tingkat pembaca). Angka Flesch Reading Ease seharusnya 60 atau lebih agar sesuai untuk pembaca tingkat 8 (kelas 2 SLTP). Atau untuk kesesuaian tingkat pembaca ini dapat juga dilihat pada Flesch-Kincaid Grade Level. Masalah dalam penggunaan cara ini ialah bahwa MS belum membuat program untuk semua bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Dengan demikian cara ini dapat dipakai untuk wacana dengan bahasa yang sudah ada dalam kamus MS.
2. SMOG Test
Test SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) adalah cara lain yang cepat, mudah, dan konsisten dalam menentukan tingkat keterbacaan. Akan tetapi cara ini dianggap kurang sesuai untuk pembaca di bawah kelas enam.
Cara menggunakan test ini ialah sebagai berikut.
a. Pilih tiga sample dari 10 kalimat yang berurutan dari bagian-bagian yang berbeda dalam keseluruhan bahan wacana, sehingga jumlah secara keseluruhan paling sedikit 100 kata.
b. Hitung jumlah kata yang terdiri atas tiga suku kata atau lebih dalam 30 kalimat.
c. Hitung hasil akar dari jumlah kata itu (b).
d. Tambahkan 3 dan hasilnya adalah tingkat pembaca yang sesuai.
Contoh:
a. Jumlah kata yang terdiri atas 3 suku kata atau lebih adalah 64.
b. Hasil akar dari 64 adalah 8
c. 8 + 3 = 11. Jadi tingkat pembaca yang sesuai adalah kelas 2 SLTA.
3. Cloze Test.
Cloze test, yang diperkenalkan oleh Wilson L. Taylor pada tahun 1953, adalah sejenis test dalam bentuk wacana dengan sejumlah kata yang dikosongkan (rumpang) dan pengisi test diminta mengisi kata-kata yang sesuai di tempat yang dikosongkan itu. (Hornby, 2000). Kata “cloze” itu bermakna proses penutupan sementara (Oller, 1979). Disebut dengan penutupan sementara karena sejumlah kata dalam wacana itu dihilangkan atau ditutup secara sistematis untuk diisi dengan cara menerka berdasarkan konteks isi wacana itu. Kebenaran isi jawaban akan dilihat dari nakah asli wacana tersebut. Ada tiga cara menghilangkan kata tersebut:
a. Menghilangkan kata pada urutan tertentu secara konsisten, tanpa membedakan jenis kata. Cara ini disebut the fixed-ratio method . Misalnya, apabila dipilih kata yang dihilangkan itu adalah kata yang ke-5, maka setiap kata yang kelima (apakah kata asing, nama diri, akronim, atau singkatan) dihilangkan secara konsisten. Cara ini biasanya dipakai apabila kata-kata dalam wacana itu dianggap sudah biasa bagi pengisi test.
b. Menghilangkan kata pada urutan tertentu dengan ketentuan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pembuat test. Misalnya, kata itu akan dihilangkan apabila termasuk kata benda atau kata kerja, atau jenis kata lain yang ditentukan oleh pembuat test. Cara ini disebut the variables-fixed ratio. Cara ini biasanya dipakai apabila pembuat test ingin mengetahui tingkat kesulitan kata-kata yang tergolong ke dalam jenis-jenis kata yang ditetapkannya.
c. Menghilangkan kata pada urutan tertentu secara sistematis tetapi apa bila kata pada urutan tertentu itu adalah nama tempat, nama diri, angka, tanggal, bulan, tahun atau istilah, maka kata itu dilampaui dan dipilih kata berikutnya. Hal ini dilakukan karena kata-kata itu sulit diterka atas dasar konteks kalimat. Cara ini disebut the modified fixed-ratio method. Cara ini banyak dipakai untuk wacana yang mengandung banyak istilah atau nama diri.
Cloze test yang kemudian juga dipakai untuk menguji pemahaman membaca (reading comprehension), pada awalnya dibuat untuk menguji keterbacaan . (Heaton, 1975). Melalui test ini dapat diketahui kesulitan calon pengguna dalam mengisi kata-kata yang dikosongkan (rumpang) secara teratur dalam suatu uraian. Semakin dekat jarak kata yang dikosongkan, mungkin semakin sulit mengerjakan soal itu dan sebaliknya. Kata yang dibuang (dikosongkan) itu biasanya setiap kata yang kelima atau yang ketujuh. Karena kata yang dipilih mungkin saja kata yang maknanya sama (sinonim) dengan kata aslinya, maka sinonim kata itu dapat juga dianggap benar. Akan tetapi apabila diharapkan kata yang diisikan adalah kata yang persis sama dengan kata aslinya (kata yang dibuang) maka huruf awal kata itu dituliskan dan huruf-huruf berikutnya dikosongkan. Semakin sedikit kesalahan yang dibuat oleh pengisi test, berarti semakin tinggi tingkat keterbacaan naskah tersebut dan sebaliknya, semakin banyak kesalahan yang dibuat berarti semakin rendah tingkat keterbacaannya.
Prosedur yang ditempuh dalam menggunakan test ini ialah sebagai berikut:
1. Pilihlah tiga buah uraian dalam naskah atau buku tersebut secara acak, masing-masing pada bagian awal, tengah dan akhir. Uraian yang dipilih hendaknya berdiri sendiri dan utuh dalam arti mempunyai satu konsep atau ide. Panjang uraian kurang lebih 250 kata.
2. Uraian yang dipilih hendaknya menarik bagi calon pengguna.
3. Hindari uraian yang banyak menggunakan nama diri, seperti nama orang dan nama tempat.
4. Salin kembali masing-masing uraian tersebut dengan ketentuan:
a. Berikan judul untuk masing-masing uraian untuk memberikan gambaran umum tentang isi uraian,
b. Tulis kembali kalimat pertama masing-masing uraian secara utuh untuk memberikan gambaran isi uraian lebih spesifik.
c. Untuk kalimat-kalimat berikutnya, buang setiap kata ke lima atau kata ketujuh secara teratur. Kata berulang dihitung dua kata. Kalau pembaca diharapkan mengisi kata yang dikosongkan itu tepat seperti kata aslinya , tuliskan huruf awal kata itu dan diikuti dengan strip sebanyak sisa huruf kata tersebut ( misalnya, kata yang dibuang ialah warung, maka ditulis
w_ _ _ _ _.)
d. Tuliskan kalimat terakhir masing-masing uraian secara utuh untuk memberikan gambaran tentang isi uraian secara lebih lengkap.
5. Pilih secara acak sesedikitnya sepuluh calon pengguna naskah tersebut untuk mengerjakan test itu.
6. Berikan petunjuk yang jelas, termasuk tujuan diberikannya test bahwa yang ingin diketahui bukanlah kemampuan membaca mereka tetapi tingkat keterbacaan naskah itu sendiri. Kata yang dikosongkan diisi hanya dengan satu kata yang dianggap paling sesuai dengan maksud kalimat dan uraian,
Tingkat kesulitan keseluruhan naskah dapat dilihat dari jumlah kata yang benar diisikan pada test itu. Hasil dengan menggunakan Cloze Test ini dapat dikategorikan sebagai berikut.
Jumlah kata yang benar Tingkat kesulitan
a. > 50 % “Mudah” dalam arti pembaca mengerti isi bacaan.
b. >35% – 50% “Agak Sukar” dalam arti pembaca memerlukan bantuan untuk mengerti isi bacaan
c. <35 % – 35 % “Sangat Sukar”, dalam arti pembaca tidak dapat memahami isi bacaan.
Hasil test tersebut dapat dilihat secara individual dan kelompok. Dapat terjadi hasil masing-masing individu secara signifikan berbeda karena latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Dengan demikian, mungkin saja suatu bahan bacaan sangat sulit bagi orang tertentu tetapi sangat mudah bagi orang lain dalam kelompok yang sama. Akan tetapi dalam kaitannya dengan bahan bacaan yang dipergunakan dalam kelas maka hasil rata-rata dalam kelompok biasanya yang digunakan.
4. Fog Index
Kalau Cloze Test dipergunakan dengan mengujikan bahan bacaan itu kepada calon penggunanya, Fog Index dipergunakan oleh penulis, editor atau guru sendiri, tanpa ketergantungan kepada orang lain. Fog Index dipergunakan dengan mengidentifikasi kata-kata sulit dalam suatu uraian. Dalam bahasa Inggris kata-kata sulit itu dianggap antara lain ialah kata yang dalam mengucapkannya terdiri atas lebih dari satu suku kata.
Prosedur yang ditempuh dalam menggunakan Fog Index adalah sebagai berikut,
1. Pilihlah tiga jenis uraian dalam naskah atau buku itu secara acak yang terdiri atas masing-masing pada bagian awal, tengah, dan akhir.
2. Untuk masing-masing uraian, hitunglah 100 kata mulai dari awal uraian. Berikan tanda pada kata yang keseratus itu dengan ketentuan:
a. Kata berulang dihitung dua kata.
b. Kata yang digunakan lebih dari satu kali dihitung satu kata.
c. Kata singkatan dan angka (lebih dari satu angka seperti 5000) dihitung satu kata.
3. Hitunglah rata-rata panjang kalimat yang lengkap dalam uraian itu dengan cara:
a. Carilah tanda titik terakhir (sebagai tanda akhir kalimat) sebelum kata yang keseratus tersebut. Hitung dari awal uraian berapa kalimat yang sempurna sampai titik terakhir sebelum kata yang keseratus itu.
b. Hitung jumlah kata dari titik terakhir sampai dengan kata yang keseratus itu. Kemudian jumlah kata itu diergunakan sebagai angka pengurang dari 100 kata, maka akan diperoleh jumlah kata dalam kalimat lengkap yang terdapat sampai pada kata yang keseratus itu.
c. Bagilah hasil pengurangan itu dengan jumlah kalimat lengkap (sampai kata yang keseratus) maka diperoleh jumlah rata-rata kata dalam kalimat lengkap.
4. Carilah kata-kata yang berjumlah dua suku kata atau lebih sampai kata yang keseratus dan hitung berapa jumlahnya Kata-kata yang demikian dianggap kata-kata sukar.
5. Kemudian dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
2(RPK + KS)
—————– + 5
5
RPK = Rata-rata Panjang Kalimat
KS = Kata-kata sukar
6. Hasil perhitungan dapat dikategorikan sebagai berikut
Hasil Kategori
a. 12 – 20 Sukar
D. PENGGUNAAN CLOZE TEST DAN FOG INDEX.
Uji keterbacaan dengan menggunakan teknik atau formula yang manapun bermanfaat untuk penulis, editor dan guru. Dengan mengetahui tingkat keterbacaan naskah yang ditulisnya, penulis dapat menyempurnakan nasakah tersbut dari aspek struktur atau pilihan kata. Demikian juga dalam proses penyuntingan, hasil uji keterbacaan membantu editor dalam menyunting naskah sehingga dapat dipahami secara baik oleh pembaca sasaran. Hasil uji keterbacaan membantu guru dalam memilih buku sebagai sumber belajar dalam suatu bidang studi serta dapat pula membantunya dalam memberikan penjelasan pokok-pokok bahasan dalam buku itu.
Cloze Test dan Fog Index yang dibicarakan dalam tulisan ini bukanlah teknik dan formula yang terbaik dari sekian banyak teknik dan formula yang ada. Kedua cara ini dikemukakan hanya karena dianggap lebih praktis, lebih cepat, dan lebih mudah untuk digunakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kata-kata sulit bukanlah semata-mata ukuran untuk menentukan tingkat kesulitan bahan bacaan. Jenis dan ukuran huruf, mutu tulisan atau cetakan, serta tata letak dapat saja mempengaruhi keterbacaan. Panjangnya dan struktur kalimat serta latar belakang atau karakteristik pembaca juga mempengaruhi tingkat keterbacaan, sungguhpun hal yang belakangan ini disebut cenderung dianggap lebih mempengaruhi kemampuan membaca daripada keterbacaan suatu bahan bacaan. Masing-masing bidang studi memiliki ciri khas sehingga cara menguji keterbacaannya juga perlu berbeda. Misalnya, cara menguji keterbacaan naskah matematika dan naskah sejarah tentu saja berbeda. Hasil uji keterbacaan juga dianggap sulit digeneralisasikan untuk calon pembaca sasaran yang sifatnya heterogen apalagi kalau sangat heterogen. Kenyataan ini ikut mendorong penerapan kebijakan lokal atau kebijakan berbasis sekolah
Cloze Test diujikan kepada calon pembaca sasaran. Oleh karena itu diharapkan dapat memberikan gambaran yang tepat tentang tingkat keterbacaan naskah itu. Pemilihan sample tentu sangat menentukan ketepatan hasil test untuk keperluan generalisasi. Test ini memerlukan banyak waktu dan juga biaya kalau dilakukan dalam ruang lingkup wilayah atau nasional, apalagi kalau populasinya sangat heterogen. Kalau kurang penjelasan tentang test ini, pengisi test dapat mengira test ini adalah untuk menguji kemampua dan pemahamannya dalam membaca, sehingga ia memberikan sikap yang berbeda dan dapat mengurangi objektivitas test dilihat dari tujuannya. . Hendaknya tetap diingat bahwa dalam menggunakan Cloze Test yang diuji adalah keterbacaan naskah bukan kemampuan membaca.
Awalnya Fog Index dipergunakan untuk menguji keterbacaan dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa tersebut panjang kata dianggap ikut menentukan kesulitan kata itu. Asumsi tersebut belum tentu sepenuhnya benar. Dapat saja kata itu hanya terdiri dari satu suku kata tapi asing bagi pembaca sehingga dianggap sukar. Kesukaran suatu kata juga ditentukan oleh frekwensi kata itu dipergunakan oleh pembaca. Pendapat ini juga berlaku untuk semua bahasa. Oleh karena itu Balitbangdikbud pernah mencoba mengidentifikasi kata-kata yang perlu dipelajari oleh siswa di masing-masing kelas di SD berdasarkan frekwensi penggunaan kata tersebut. Sayangnya hasil penelitiam itu kurang disosialisasikan.
Penulis pernah mencoba melihat tingkat keterbacaan suatu naskah dengan menggunakan Cloze Test dan Fog Index untuk dua kelompok mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta dalam waktu yang berbeda (tahun 2002 dan 2003). Bahan yang diujikan adalah naskah yang sama; hanya bentuknya disesuaikan dengan persyaratan Cloze Test dan Fog Index. Hasil dari kedua kelompok itu ternyata sama. Baik berdasarkan Cloze Test maupun Fog Index , naskah yang diuji itu tergolong agak sukar dipahami.
Pengalaman yang kecil itu menunjukkan bahwa untuk menguji keterbacaan suatu naskah ada baiknya menggunakan tidak hanya satu jenis cara saja tetapi ada baiknya dibandingkan dengan cara lain. Kalau Cloze Test memerlukan banyak biaya dan waktu, Fog Index nampaknya lebih hemat karena dapat dilakukan oleh penulis, atau editor, atau guru sendiri tanpa bantuan orang lain.
Hasil test keterbacaan tidak hanya bermanfaat bagi penulis dalam memperbaiki naskahnya, namun juga dapat bermanfaat bagi guru dalam memprediksi konsep-konsep yang sukar bagi siswanya. Dengan demikian guru dapat memberikan penjelasan yang lebih rinci untuk konsep-konsep tersebut sehingga siswa dapat memahami keseluruhan materi pelajaran lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Hornby, A.S. (2000). Oxford advanced learner’s dictionary of current English. London: Oxfprd University Press
Oller, J.W. (1979). Language tests at school. London: Longman Group Ltd.
Alderson, J.C. (2000). Assessing reading. Cambridge: Cambridge University Press.
Morrison, G.R., Ross, S.M., & Kemp, J.E. (2001). Designing effective instruction. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Minggu, 11 November 2012

sukreni gadis bali

SUKRENI GADIS BALI

Selasa, 12 Oktober 2010 Label:
Sukreni Gadis Bali adalah karya penulis baru yang bernama I Gusti Nyoman panji Tisna. Roman ini termasuk Roman Jiwa. Roman ini terbit pada tahun 1936 oleh Balai Pustaka Diterbitkan pada tahun 1936 oleh Balai Pustaka

Tema cerita: Masalah hukum karma

Setting cerita: Bali

Tokoh & Karakter:

Sukreni: Gadis malang. Dia adalah Anak Manusia Negara dengan suami pertama
Men Negara: Seorang ibu jahat-hati, pilih kasih
Men Nagari: -gadis yang jahat. Dia adalah Anak Manusia Negara dengan suami kedua.
Made Tusam: perampok yang jahat
Aseman: Perampok yang jahat namun ia Taubat
Gustam: Anak hubungan gelap dengan MadeTusam. Dia adalah seorang polisi.


Ringkasan:

Sukreni tinggal bersama ibunya, yang bernama Men Negara.Dia juga serumah dengan Men Nagari, saudara Sukreni, dari anak Men Negara dengan suaminya yang kedua.

Sukreni gadis baik hati itu, setiap hari menjaga toko - toko mereka. Sukreni mempunyai kecantikan,dan sengaja digunakan sebagai umpan oleh Men Negara terutama para laki-laki. Toko-toko kecil Mereka yang sangat ramai, Banyak Pria yang mengganggu Sukreni.

Namun, hal itu Men Nagari sebagai Saudara nya merasa iri dengan kecantikan Sukreni . Banyak pula pemuda menyukai Sukreni. salah seorang Pemuda itu bernama Ida Gde Nagari Swamba.

Men Nagari dan Men Negara menyerahkan Made Sukreni untuk diperkosa oleh Made Tusam. Made Tusam langsung untuk melampiaskan nafsu birahinya kepada Sukreni. Tak lama setelah kejadian, Sukreni mengandung dan pergi meninggalkan rumah Men Negara, dan pada akhirnya di bertemu dengan Aseman. Aseman sendiri dulu, adaloah perampok yang jahat namun sekarangb ia bertaubat

Dari hasil perkosaan, lahirlah anak Sukreni yang bernama Gustam atau Si KEBAL. Anak tersebut nantinya akan menjadi polisi.

Suatu hari, I Made Tusam telah menjadi buronan oleh polisi. Salah satu polisi mengejar itu tak lain anaknya sendiri.Dalam pengejaran, terjadi duel antara Bapak dan Anak. Tapi akhirnya, kedua manusia itu mati bersama-sama. Seorang ayah membunuh anaknya, dan anak yang membunuh Bapaknya.

Namun, sebelum pertarungan itu terjadi,Gustam telah membakar took-toko milik men Negara. Hingga akhirnya Men Negara jatuh miskin.

Sabtu, 10 November 2012

sinopsis layar terkembang

Sinopsis Layar Terkembang

Tuti adalah putri sulung Raden Wiriatmadja. Dia dikenal sebagai seorang gadis yang pendiam teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam sangat berbeda dengan adiknya Maria. Ia seorang gadis yang lincah dan periang.
Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggap di Martapura, Sumatra Selatan.
Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria pulang. Bagi yusuf, perteman itu ternyata berkesan cukup mendalam. Ia selal teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak tertumpah. Menurutnya wajah Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis.
Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun kemudian dengan senang hati menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat mereka bercakap-cakap mengenai berbagai hal.
Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Tuti sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam kongres Putri Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan emansipasi wanita. Suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk memajukan kaumnya.
Pada masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura. Sesungguhnya ia bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan tanah leluhurnya, namun ternyata ia tak dapat menghilangkan rasa rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian, datang pula kartu pos dari Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. Berikutnya, surat Maria datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalannya bersama Rukamah, saudara sepupunya yang tinggal di Bandung. Setelah membaca surat itu, Yusuf memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian menyusul sang kekasih ke Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun segera meninggalkan Martapura.
Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua sejoli itu pun melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar air terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada Maria.
Sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Sesungguhpun demikian pikiran Tuti tidak urung diganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat pula ia pada teman sejawatnya, Supomo. Lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada Tuti.
Ketika Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. Saat itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti perihal keinginandsnya untuk menjalin cinta dengannya. Sesungguhpun gadis itu sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seorang, Supomo dipandangnya sebagai bukan lelaki idamannya. Maka segera ia menulis surat penolakannya.
Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Ternyata menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakit TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Pada suatu kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam itu, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat lebih banyak lagi. Kemudian setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria mengjhembuskan napasnya yang terakhir. “Alangkah bahagianya saya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain”. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Lalu sesuai dengan pesan tersebut Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melangsungkan perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.
2. Unsur Instrinsik Novel
1. Tema : Perjuangan Wanita Indonesia
2. Latar / Setting ;
A. Gedung Akuarium di Pasar Ikan,
B. Rumah Wiriaatmaja,
C. Mertapura di Kalimantan Selatan,
D. Rumah Sakit di Pacet,
E. Rumah Partadiharja,
F. Gedung Permufakatan.
3. Alur : Maju
4. Sudut Pandang : Orang ketiga yang ditandai dengan menggunakan nama dalam menyebutkan tokoh-tokohnya.
5. Penokohan
a. Maria : Anak Raden Wiriaatmaja, seseorang yang mudah kagum,mudah memuji dan memuja,lincah dan periang.
b. Tuti : Anak Raden Wiriaatmaja, seseorang yang aktif dalam berbagai kegiatan wanita,selalu serius,jarang memuji,pandai dan cakap dalam mengerjakan sesuatu.
c. Yusuf : Putra Demang Munaf di Mrtapura, seseorang mahasiswa kedokteran yang pandai dan baik hati.
d. Wiriaatmaja : Ayah dari Maria dan Tuti, seorang yang memegang teguh agama,baik hati dan penyayang.
e. Partadiharja : Adik Ipar Wiriaatmaja, seseorang yang baik hati, teguh pendirian dan peduli antar sesama.
f. Saleh : Adik Partadiharja, seorang lulusan sarjana yang sangat peduli akan alam sehingga ia mengabdikan diri sebagai seorang petani.
g. Rukamah : Sepupu Tuti dan Maria, seseorang yang baik hati dan suka bercanda.
h. Ratna : Istri saleh, Seorang petani yang pandai dan baik hati.
i. Juru Rawat : Seorang yang baik hati.
7. Amanat : Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat besar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan demikian perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.

novel layar terkembang

NOVEL LAYAR TERKEMBANG
Tuti adalah putri sulung dari Raden Wiriatmadja. Ia dikenal sebagai seorang gadis yang berpendirian teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam, sangat berbeda dengan adiknya, Maria. Ia seorang gadis yang lincah dan periang.
Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggal di Martapura, Sumatera Selatan.
Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria pulang ke rumah. Bagi Yusuf, pertemuan itu berkesan cukup mendalam. Ia selalu teringat dengan kedua gadis tersebut, terutama Maria. Kepada gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak tercurahkan. Menurutnya, wajah Maria yang cerah dan berseri-seri, serta bibirnya yang selalu tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis.
Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka, Yusuf bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan hotel Des Indes. Yusuf pun dengan senang hati menemani keduanya berjalan-jalan. Di perjalanan, mereka bercakap-cakap sangat akrab, terutama Maria dan Yusuf. Sejak perkenalan itu, hubungan antara Maria dan Yusuf menjadi hubungan cinta. Sementara, Tuti tidak sempat memikirkan Yusuf karena kegiatan kongres-kongres yang amat sering diikutinya sehingga perhatiannya tidak tercurah pada kenalan baru mereka. Suatu ketika terjadi salah paham antara Tuti dan adiknya. Tuti tidak ingin adiknya diperbudak oleh perasaan dan rasa rendah diri di muka laki-laki. Ia ingin Maria tidak tergantung pada Yusuf karena hubungaan cinta itu. Tuti menganggap sikap Maria yang amat mengharapkan Yusuf itulah yang menyebabkan martabat kaum wanita justru direndahkan. Maria menjawab bahwa pikiran Tuti itu mengandaikan bahwa hubungan percintaan selalu diperhitungkan oleh hubungan fungsional. segala sesuatu ditimbang dan diukur dengan berbelit-belit. Maria bahkan menyinggung dengan keras bahwa sikap yang dipilih kakaknya sebagai penyebab putus dengan Hambali tunangannya. Pertengkaran itu berakibat jauh bagi tuti. Ia mulai berpikir dan goyah pada sikap yang selama ini diyakininya. Sikap tuti berangsur-angsur berubah. Di rumah pamannya dia menujukan rasa kasihnya pada rukmini sepupunya, dia mulai memerhatikan kesenian sandiwara yang dimainkan oleh adiknya dan yusuf. Tuti mulai dapat menghargai hal-hal yang duku dianggapnya remeh. Selama itu baru di sadarinya bahwa apa yang di katakannya dalam kongres-kongres atau apa yang dipikirkannya tidak terjadi dalam kehidupan pribadinya. Ia mulai merasakan kesepiaan dalam kesendiriannya.
Di tempatnya bekarja, tuti mendapat teman baru, seorang guru muda bernama soepomo. Lambat laun perasaan cintanya bersemi. Namun proses itu tidak lama. Ia kembali idealis. Selama menjadi kekasih soepomo sebenarnya disadarinya juga bahwa hatinya tergerak bukan sikap yang tulus mencintai Soepomo. Ia yakin sikapnya pada Soepomo hanyalah pelarian dari kesepiaan batin dan dari kegoncangan pandangan-pandangannya semula. Ketika Soepomo akan mengambilnya menjadi istrinya, Tuti harus memilih kawin atau tetap setia pada organisasi Putri Sedar yang tidak dapat di tinggalkannya. Ia teringat peristiwa putusnya hubungan pertunangannya dengan Hambali. Akhirnya Tuti tetap mengambil keputusan ia harus meninggalkan Soepomo karena memang tidak di cintainya, walaupun usia Tuti telah 27 tahun. Maria adiknya sakit parah. Ia terserang malaria, muntah darah dan TBC. Keluarga Wiraatmaja akhirnya merelakan Maria di rawat di rumah sakit Pacet.
Perhatian Tuti beralih pada Maria. Ia amat sedih dan khawatir akan keadaan adiknya. Yusuf yang sering berkunjung ke Pacet secara kebetulan dan kemudian menjadi dekat pada Tuti. Mereka berdua amat prihatin akan keadaan Maria Keadaan Maria berakhir dengan kematiannya. Sebelum meninggal Maria telah berpesan kepada Tuti supaya kelak kalau jiwanya tidak terselamatkan, kakaknya bersedia menjadi istri kekasihnya saat ini.
Tuti dan Yusuf telah kehilangaan seseorang yang mereka kasihi bersama. Sepeninggal Maria, Tuti merasakan bahwa Yusuf dapat dicintainya dengan tulus,demikian pula cinta Yusuf pada Tuti. Sekarang Tuti merasa yakin bahwa Yusuf adalah calon suami yang baik yang bisa dicintainya.

intrisik

UNSUR INTRINSIK NOVEL

        Novel ialah cerita dalam bentuk prosa fiksi dalam ukuran yang luas. Keluasan tersebut ditunjukkan oleh kekompleksan plot, keragaman karakter, kekompleksan tema, keragaman suasana cerita, dan keragaman latar cerita (Najid, 2003: 15). Ensiklopedia Americana memberi batasan bahwa novel ialah cerita dalam bentuk prosa yang cukup panjang dan meninjau kehidupan sehari-hari. Novel memberi kemungkinan kepada pembaca untuk menangkap perkembangan kejiwaan tokoh secara lebih menyeluruh. Novel juga memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai persoalan manusia. Novel lebih leluasa dalam mengeksploitasi detil-detil peristiwa, suasana, dan karakter tokoh untuk menghidupkan cerita. Keutuhan sebuah novel tidak ditopang oleh kepadatan cerita, namun ditopang oleh tema karyanya (Najid, 2003: 18-19).

        Novel terdiri atas tiga bentuk: (1) novel percintaan, yaitu novel yang melibatkan peranan tokoh wanita dan pria secara seimbang, terkadang wanita lebih dominan; (2) novel petualangan, yaitu novel yang melibatkan banyak masalah dunia laki-laki; (3) novel fantasi, novel yang bercerita tentang hal-hal yang tidak realistis dan tidak logis serta serba tidak mungkin dilihat dari pengalaman sehari-hari (Najid, 2003: 15).

        Dalam dunia kesastraan sering ada usaha untuk mencobabedakan antara novel serius dengan novel populer. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha memahami hakikat kehidupan. Sebab jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat dan berubah menjadi novel serius. Novel serius di samping memberikan hiburan, juga secara implisit bertujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan   (Nurgiyantoro, 2007: 18-19).  
Unsur Intrinsik Novel
         Unsur-unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang membangun karya sastra. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika seseorang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud (Nurgiyantoro, 2007: 23). Unsur-unsur intrinsik tersebut adalah sebagai berikut.

Tema
          Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi umum, lebih luas, dan abstrak. Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita (Nurgiyantoro, 2007: 68). Dengan demikian, tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain, cerita tentunya akan “setia” mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga berbagai peristiwa-konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut (Nurgiyantoro, 2007:70).

Tema terbagi menjadi dua jenis:
1)      Tema mayor: tema pokok, tema utama, yaitu permasalahan dominan yang menjiwai cerita.
2)      Tema minor: tema bawahan, yaitu persoalan-persoalan kecil yang mendukung keberadaan tema mayor (Najid, 2003: 28).

Penokohan 
         Sebuah novel tanpa penokohan adalah suatu hal yang mustahil. Daya tarik sebuah novel terpancar melalui imajinasi kreatif pengarang. Melalui imajinasi itulah, pembaca dapat berkenalan dengan sejumlah variasi tipe manusia beserta masalahnya. Jika kita membaca sebuah novel, bagian paling penting yangg harus dilakukan ialah usaha untuk mencari nilai yang disuguhkan pengarang pada setiap tokoh (Rahmanto, 1992: 71). 
          Suatu peristiwa dalam prosa fiksi selalu didukung oleh sejumlah tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mendukung peristiwa sehingga mampu menjalin suatu cerita disebut tokoh, sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh disebut penokohan. Oleh karena itu, penokohan merupakan unsur cerita yang tidak dapat ditiadakan. Dengan adanya penokohan, sebuah cerita menjadi lebih nyata dan lebih hidup. Melalui penokohan itu pula, seorang pembaca dapat dengan jelas menangkap wujud manusia atau makhluk lain yang perikehidupannya sedang diceritakan pengarangnya (Najid, 2003: 23). Istilah penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2007: 166).
            Tokoh dalam prosa fiksi memiliki peran yang berbeda-beda. Tokoh yang memiliki peran penting dalam suatu cerita disebut tokoh sentral/ tokoh inti atau tokoh utama, sedangkan tokoh yang hanya berfungsi melengkapi, melayani tokoh utama disebut sebagai tokoh peripheral (tokoh pembantu). Penentuan kedua tokoh tersebut didasarkan pada:
1) Frekuensi kemunculan tokoh dalam cerita. Tokoh utama umumnya sering atau bahkan selalu muncul dalam setiap episode, sedangkan tokoh bawahan kecil sekali tingkat kemunculannya dalam cerita.
2) Komentar pengarang. Tokoh utama umumnya adalah tokoh yang sering dikomentari dan dibicarakan oleh pengarang cerita, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan sekadarnya saja.
3) Judul cerita. Tokoh utama biasanya dijadikan sebagai judul sebuah cerita (Najid, 2003:23).
         Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan. Pada novel-novel yang lain, tokoh utama tidak muncul dalam setiap kejadian, atau tak langsung ditunjuk dalam setiap bab, namun ternyata dalam kejadian atau bab tersebut tetap erat berkaitan, atau dapat dikaitkan dengan tokoh utama. Di pihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung. Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin saja lebih dari seorang, walau kadar keutamaannya tak selalu sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2007: 176-177).      

             Berdasar atas karakternya, aspek tokoh dapat dibedakan menjadi:
1)   Tokoh sederhana: tokoh yang kurang mewakili personalitas manusia dan biasanya hanya ditonjolkan dari satu dimensi saja. Tokoh ini cenderung tidak dikembangkan atau tidak memiliki kemungkinan untuk berkembang menjadi tokoh kompleks yang termasuk tokoh sederhana adalah tokoh yang sudah biasa, familiar, atau tokoh stereotip.
2)   Tokoh kompleks: tokoh yang dapat dilihat dari semua sisi kehidupannya. Tokoh seperti ini memiliki kemungkinan berkembang karena memiliki kepribadian yang kompleks. Ia lebih menyerupai pribadi yang hidup sehingga memberikan kejutan pada pembacanya (Najid, 2003: 23).
Penggolongan tokoh berdasarkan keterkaitan dengan konflik:
1)   Tokoh protagonis: tokoh yang membawa ide prinsipil atau ide pokok.
2)   Tokoh antagonis: tokoh yang selalu menentang ide prinsipil
3)  Tokoh tritagonis: tokoh yang berfungsi sebagai pendamai antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis (Najid, 2003: 24).

        Adapun cara pengarang menampilkan watak tokoh cerita adalah sebagai berikut:
1)      Disampaikan sendiri oleh pengarang kepada pembaca.
2)      Disampaikan oleh pengarang melalui perkataan tokoh-tokoh cerita itu sendiri.
3)      Disampaikan melalui apa yang dikatakan oleh tokoh lain tentang tokoh tertentu.
4)      Disampaikan melalui pemikiran, perasaan, pekerjaan, dan perbuatan tokoh cerita (Rahmanto, 1992: 72).

Latar
            Latar dalam prosa fiksi terbagi menjadi tiga jenis, yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. Latar waktu berkait dengan penempatan waktu cerita. Latar tempat berkait erat dengan masalah geografis, merujuk suatu tempat tertentu terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar sosial berkait dengan kehidupan kemasyarakatan dalam cerita. Latar cerita bukan sekedar sebagai penunjuk kapan dan dimana sebuah cerita terjadi, namun ia juga sebagai tempat pengambilan nilai-nilai yang diungkapkan pengarang melalui ceritanya. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa latar sebenarnya memiliki dua tipe, yaitu fisikal dan psikologis. Latar fisikal umumnya berupa benda-benda konkret seperti: meja, kursi, dan lain-lain. Apabila latar fisikal tersebut mampu menggerakkan emosi pembaca, maka latar tersebut juga berfungsi sebagai latar psikologis.

         Perbedaan latar fisikal dan latar psikologis tampak pada empat ciri yang terpaparkan di bawah ini.
1)   Latar fisikal berkait dengan tempat, benda, dan peristiwa yang tidak menuansakan makna apa-apa, sedangkan latar psikologis ialah latar yang berupa benda, tempat, dan peristiwa yang mampu memengaruhi emosi pembaca.
2)   Latar fisikal terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik dan dapat ditangkap dengan pancaindera, sedangkan latar psikologis dapat berupa suasana, sikap, serta jalan pikiran manusia atau tokoh cerita.
3)   Untuk memahami latar fisikal, pembaca cukup melihat apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap latar psikologis membutuhkan penghayatan dan penafsiran.
4)   Latar fisikal dan psikologis saling berpengaruh (Najid, 2003: 25).    

Sudut Pandang
         Dalam menampilkan ceritanya, pengarang dapat berposisi berbeda-beda. Cara memandang tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya (pengarang) pada posisi tertentu disebut sudut pandang atau titik pandang atau pusat pengisahan (Najid, 2003: 27). Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya (Nurgiyantoro, 2007: 248). Jenis-jenis sudut pandang adalah sebagai berikut.

1)   Sudut pandang persona ketiga: “Dia”
           Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak (Nurgiyantoro, 2007: 256).
            Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya, yaitu sudut pandang “dia” mahatahu dan sudut pandang “dia” sebagai pengamat. Dalam sudut pandang “dia” mahatahu, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu. Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh “dia” yang satu ke tokoh “dia” yang lain. Dalam teknik mahatahu, narator mampu menceritakan sesuatu, baik yang bersifat fisik, dapat diindera, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati dan pikiran tokoh, bahkan lebih dari seorang tokoh, seolah-olah tidak ada satu rahasiapun tentang tokoh yang tidak diketahui oleh narator. Hal tersebut menjadikan pembaca lebih terlibat secara emosional terhadap cerita. Bahkan, rasanya pembaca ingin membisikkan sesuatu kepada tokoh tentang hal-hal “penting” yang tidak diketahuinya. Misalnya, pembaca ingin memberi tahu seorang tokoh bahwa kawan seperjuangannya itu sebenarnya seorang pengkhianat bangsa yang sangat membahayakan (Nurgiyantoro, 2007: 257-259).

                 Dalam sudut pandang “dia” sebagai pengamat/ terbatas, seperti halnya dalam “dia” mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja. Tokoh cerita mungkin saja banyak yang juga berupa tokoh “dia”, namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama/ utama. Hal itu disebabkan karena dalam teknik ini hanya ada seorang tokoh yang terseleksi untuk diungkap (Nurgiyantoro, 2007: 259-260). 
2)   Sudut pandang persona pertama: “Aku”
           Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan yaitu sudut pandang “aku” sebagai tokoh utama dan sudut pandang “aku” sebagai tokoh tambahan. Dalam sudut pandang “aku” sebagai tokoh utama, si “aku” menjadi fokus, pusat kesadaran, dan pusat cerita, atau dapat dikatakan menceritakan kehidupan tokoh “aku”. Dalam sudut pandang “aku” sebagai tokoh tambahan, tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain (Nurgiyantoro, 2007: 263-265).     

 Gaya Bahasa
         Bahasa dalam prosa fiksi memilki peran ganda, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai penyampai gagasan pengarang, namun juga sebagai penyampai perasaannya. Beberapa cara yang ditempuh oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa prosa fiksi (novel) ialah dengan menggunakan perbandingan, menghidupkan benda mati, melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Itulah sebabnya, terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat khas (Najid, 2003: 27). Dalam karya sastra, istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang dalam menyampikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 2009: 72).

         Gaya atau gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 2006: 112). Jenis-jenis gaya bahasa meliputi:

Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
  1. Repetisi, yaitu perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
Contoh:
Atau maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama meraka yang menyusupi tanah, menyusupi alam? (Keraf, 2006:127). 

Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna
Gaya Bahasa Retoris

  1. Elipsis, yaitu suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.
Contoh:
            Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa,  
            badanmu sehat; tetapi psikis.... (Keraf, 2006: 132).
  1. Eufimisme, yaitu semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan (Keraf, 2006: 132).
Contoh:
            Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka.
            Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini.
            Anak Saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran.

  1. Litotes, yaitu semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya, atau suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya (Keraf, 2006: 132-133).
Contoh:
            Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.
            Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun- 
            tahun lamanya.

  1. Pleonasme dan Tautologi, yaitu acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan suatu pikiran atau gagasan. Walaupun secara praktis kedua istilah itu disamakan saja, namun ada yang ingin membedakan keduanya. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain.
Contoh:
            Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.
            Darah yang merah itu melumuri seluruh tubuhnya.

Ungkapan tersebut adalah pleonasme karena semua acuan itu tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun dihilangkan kata-kata: dengan telinga saya dan yang merah itu.
Contoh:
            Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat.
            Globe itu bundar bentuknya.

Acuan di atas disebut tautologi karena kata berlebihan itu sebenarnya mengulang kembali gagasan yang sudah disebut sebelumnya, yaitu malam sudah tercakup dalam jam 20.00 dan bundar sudah tercakup dalam globe (Keraf, 2006: 133-134).
  1. Hiperbol, yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
Contoh:
            Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir meledak aku
            (Keraf, 2006: 135).

  1. Paradoks, yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Contoh:
            Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang berlimpah-limpah            
            (Keraf, 2006: 136).     


Gaya Bahasa Kiasan
a)      Persamaan atau Simile, yaitu perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.
Contoh:
            Bibirnya seperti delima merekah.
Persamaan masih dapat dibedakan lagi atas persamaan tertutup dan persamaan terbuka. Persamaan tertutup adalah persamaan yang mengandung perincian mengenai sifat persamaan itu, sedangkan persamaan terbuka adalah persamaan yang tidak mengandung perincian mengenai sifat persamaan itu (Keraf, 2006: 138).
Contoh:
Tertutup:   Saat menantikan pengumuman hasil ujian terasa tegang seperti 
                    mengikuti pertandingan bulu tangkis dalam set terakhir dengan 
                    kedudukan 14-14.
Terbuka:   Saat menantikan pengumuman hasil ujian terasa seperti mengikuti   
                  pertandingan bulu tangkis dalam set terakhir dengan kedudukan 14-14.
b)      Metafora, yaitu semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya (Keraf, 2006: 139).
Contoh:
           Pemuda-pemudi adalah bunga bangsa.

c)      Personifikasi, yaitu semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Keraf, 2006: 140).
Contoh: .
           Matahari kembali ke peraduannya, ketika kami tiba di sana.

d)     Sinekdoke, yaitu semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem pro parte).
Contoh:
            Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,- (pars pro toto)
            Dalam pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia di 
            Stadion Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4 (totem proparte)
            (Keraf, 2006: 142).







Alur
             Sebuah cerpen atau novel menyajikan sebuah cerita kepada pembacanya. Sebuah cerita adalah peristiwa yang jalin-menjalin berdasar atas urutan waktu, kejadian, atau hubungan sebab-akibat. Jalin-menjalinnya berbagai peristiwa, baik secara linier atau lurus maupun secara kausalitas, yang membentuk satu kesatuan yang utuh, padu, dan bulat dalam suatu prosa fiksi disebut alur cerita (Najid, 2003: 20).
Susunan alur dalam sebuah prosa fiksi secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian:
1)      Bagian awal: berisi informasi penting yang berkaitan dengan hal-hal yang diceritakan pada tahap-tahap berikutnya.Informasi-informasi tersebut dapat berupa pengenalan latar, pengenalan tokoh, dan penciptaan suasana.
2)      Bagian tengah: menyajikan konflik yang sudah mulai dimunculkan. Konflik bisa terjadi secara internal (konflik batin) maupun eksternal (konflik sosial).
3)      Bagian akhir: merupakan tahap peleraian. Berbagai jawaban atas berbagai persoalan yang dimunculkan dalam cerita terlihat alternatif penyelesaiannya (Najid, 2003: 20).  
           Pembedaan plot (alur) berdasarkan kriteria urutan waktu ada dua kategori, yaitu alur kronologis dan tak kronologis. Alur kronologis disebut sebagai alur maju atau progresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tahap tengah (konflik meningkat, klimaks), dan tahap akhir (penyelesaian). Plot progresif biasanya menunjukkan kesederhanaan cara penceritaan, tidak berbelit-belit, dan mudah diikuti. Alur tak kronologis disebut sebagai alur sorot balik (flash-back) atau regresif. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan (Nurgiyantoro, 2007: 153-154). Selain alur sorot balik, ada juga alur campuran. Alur campuran adalah alur yang diawali klimaks, kemudian melihat lagi masa lampau dan dilanjutkan sampai pada penyelesaian. Oleh karena itu, cerita yang menggunakan alur ini ada bagian yang menceritakan masa lalu dan masa mendatang (http://hoesnaeni.wordpress.com).

Amanat
          Dalam berkarya, pengarang pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai dengan karyanya, tujuan inilah yang disebut amanat. Umumnya, amanat cerita berisi ajaran-ajaran moral, yaitu ajakan, saran, atau anjuran kepada pembaca untuk meningkatkan kesadaran kemanusiaannya (Najid, 2003: 28).
          Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarang untuk, antara lain, menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang diamanatkan. Moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Dengan demikian, tokoh yang kurang terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh antagonis maupun protagonis, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model, model yang kurang baik, yang sengaja ditampilkan justru agar tidak diikuti atau minimal tidak dicenderungi oleh pembaca. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah sendiri dari cerita tentang tokoh jahat itu. Eksistensi sesuatu yang baik, biasanya justru akan lebih mencolok jika dikonfrontasikan dengan yang sebaliknya (Nurgiyantoro, 2007: 321-322).

unsur intrisik n ektrinsik

    Sebuah cerita pendek atau novel mempunyai unsur–unsur yang saling mengikat, membentuk kebersamaan dalam penyajiannya. Unsur–unsur tersebut dibagi menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, di antaranya adalah tema, alur/plot, tokoh dan penokohan, latar, gaya bahasa, sudut pandang, dan amanat. Unsur ekstrinsik adalah unsur–unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung unsur tersebut mempengaruhi karya sastra.

    Suharianto (1982:28) mengatakan bahwa unsur–unsur intrinsik cerita pendek itu terdiri atas tema, alur, penokohan, latar, tegangan atau padahan, suasana, pusat pengisahan atau point of view, dan gaya bahasa.

     Baribin (1985:52) berpendapat bahwa unsur pembangun fiksi itu terdiri atas: (1) perwatakan, (2) tema dan amanat, (3) alur atau plot, (4) latar dan gaya bahasa, dan (5) pusat pengisahan.
Menurut Nurgiyantoro (2002:12) unsur-unsur pembangun sebuah cerita pendek ada dua unsur yaitu unsur intrinsik atau unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri antara lain: (1) plot, (2) Tema, (3) penokohan, (4) latar, (5) kepaduan. Di pihak lain, unsur ekstrinsik atau unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra antara lain adalah keadaan subjektifitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya akan mempengaruhi karya yang ditulisnya.

    Meskipun dari pendapat ahli sastra berbeda, tetapi dari segi isinya masih banyak hal yang sama. Perbedaannya hanyalah terletak pada segi kuantitas atau jumlah. Berdasarkan pendapat dari ahli sastra di atas dapat disimpulkan bahwa unsur–unsur intrinsik pembangun karya sastra cerita pendek secara umum meliputi: (1) tema, (2) alur, (3) latar, (4) tokoh dan penokohan, (5) sudut pandang, (6) gaya bahasa, dan (7) amanat.
Unsur ekstrinsik cerita pendek antara lain keyakinan pengarang, pandangan hidup, faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Menurut Nurgiyantoro (2002:24) unsur ekstrinsik sebagai suatu unsur yang kurang penting.

Selasa, 30 Oktober 2012

profesi

Profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris "Profess", yang dalam bahasa Yunani adalah "Επαγγελια", yang bermakna: "Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen".
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer,teknikdan desainer
Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu, disebut profesional. Walaupun begitu, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu profesi.